Saat ini, industri perbukuan sedang sakit berat akibat pandemi Covid-19.
ARYS HILMAN NUGRAHA, Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi)

Judul artikel Firman Venayaksa pada opini Republika, Jumat (21/5), terasa liris dan mengiris. Dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang, Banten itu menulis “Jalan Sunyi Literasi”, kritik tajam terhadap kondisi literasi bangsa. Firman adalah penggerak literasi terkemuka yang pernah menjabat ketua umum Forum Taman Bacaan Masyarakat tingkat nasional. Ia peraih Anugerah Ikapi pada 2019 atas sumbangsihnya di bidang literasi.

Literasi yang kita kenal berasal dari bahasa Inggris literacy yang memiliki dua makna: Pertama, the ability to read and write. Kedua, competence or knowledge in a specified area.

Selain bicara tentang baca-tulis, makna kedua kini lebih mengemuka, misalnya yang amat populer ialah literasi digital. Tidak keliru, namun menjadi berbahaya saat muncul persepsi bahwa literasi di bidang lain, misalnya digital, dapat menggantikan literasi baca-tulis.

Firman mempertanyakan keseriusan elite-elite politik terhadap literasi baca-tulis. Banyak janji tentang perpustakaan, taman bacaan, dan insentif bagi industri penerbitan, tapi semua itu berlalu seiring usainya masa kampanye dan para pemimpin telah terpilih.

Alih-alih mereka yang memiliki kekuatan tanda tangan kebijakan, menurut dia, justru masyarakat dan komunitaslah yang bergerak dalam kegiatan literasi, menjadi sindiran atas ketidakhadiran pemerintah.

Penyelenggaraan Festival Hari Buku Nasional (FHBN) di kampus Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Serang, Banten, pada 26-30 Mei 2021 berangkat dari keyakinan perlunya perbaikan besar ekosistem perbukuan yang berkelindan dengan literasi.

Keterlibatan menyeluruh penerbit, penulis, pegiat literasi, CSR korporasi, pemerintah daerah, perpustakaan, sekolah, dan perguruan tinggi dalam kegiatan itu diharapkan membentuk ekosistem yang sehat dan berkelanjutan.

Industri yang sakit
Dunia perbukuan, sebagai sokoguru literasi baca-tulis, masih diperlakukan sebagai industri komoditas belaka.
Hingga sekarang, masih banyak orang tak dapat membedakan penerbit buku dengan percetakan buku, tak paham ada proses kreatif, kekayaan intelektual, dan cita-cita kecerdasan bangsa di dalamnya.

Penerbitan menjadi subsektor industri kreatif dalam naungan Kemenparekraf—namun belakangan hanya menumpang pada salah satu direktorat yang tak menyebut nomenklatur “penerbitan”—dan tidak menjadi subsektor unggulan maupun prioritas karena nilai ekonominya (sic!) tak setinggi subsektor lainnya.

Jadi lupakan bahwa industri perbukuan memiliki sisi moral dan ideal tentang bangsa yang beradab. Lupakan keyakinan bahwa masyarakat yang memiliki budaya baca akan mengantarkan bangsa ke gerbang kemajuan.

Seperti kata Firman, ini jalan sunyi. Tak cukup keyakinan bahwa buku berhubungan dengan tingginya minat masyarakat terhadap ilmu pengetahuan, teknologi, inovasi, dan nalar kritis.

Saat ini, industri perbukuan sedang sakit berat akibat pandemi Covid-19. Penjualan mayoritas penerbit (58,2 persen) anjlok lebih dari 50 persen. Sebanyak 29,6 persen penerbit lainnya mengalami penurunan 31-50 persen.

Pemerintah pun mengurangi bahkan menghentikan pembelian buku. Pada 2020, sebanyak 71,4 persen penerbit tidak lagi menerima pemesanan buku dari dinas-dinas pendidikan dan perpustakaan daerah.

Ikapi telah mengajukan sejumlah langkah kepada pemerintah dalam kerangka pemulihan ekonomi nasional (PEN).

Pertama, langkah penyelamatan:
(1) Buka kembali keran pembelian buku oleh pemerintah baik melalui pengadaan di Kemendikbud maupun kementerian lain dan lembaga-lembaga nonkementerian. (2) Fasilitasi kepesertaan penerbit ke dalam sistem pengadaan pemerintah melalui LPSE. Buku sebagai cenderamata kegiatan pemerintah, menggantikan barang-barang impor. (3) Pengadaan buku untuk perpustakaan umum dan sekolah serta taman bacaan masyarakat. (4) Relaksasi pinjaman perbankan. (5) Pembebasan PPN kertas buku, tinta buku, dan pencetakan buku. (6) Subsidi pajak untuk PPh penulis. (7) Sosialisasi pembebasan PPN buku sesuai PMK No. 5/PMK.010/2020). (8) Pembasmian pembajakan buku, termasuk penjualan buku bajakan di lokapasar (marketplace) daring.

Kedua, langkah pemulihan:
(1) Insentif penerbitan buku berupa biaya cetak dan royalti penulis. (2) Pemberian hibah kepada penerbit untuk program pemasaran buku. (3) Pemberian vaksinasi bagi pelaku ekonomi kreatif subsektor penerbitan menjelang pemberlakuan pembelajaran tatap muka.

Ketiga, langkah normalisasi:
(1) Dukungan penyelenggaraan pameran buku di pusat maupun daerah yang berorientasi hasil penjualan oleh penerbit maupun perbaikan iklim literasi. (2) Dukungan penyelenggaraan pameran internasional dan literary agent nasional untuk membuka akses terhadap penjualan intellectual property (IP) ke luar negeri. (3) Dukungan pengembangan infrastruktur lokapasar daring milik asosiasi (Ikapi) demi pengembangan pasar maupun perlawanan terhadap pembajakan. (4) Pembentukan satgas antipembajakan dan keberpihakan yang tegas terhadap pemilik hak cipta (IP) dalam melawan para pembajak. (5) Penyusunan peraturan pemerintah sebagai turunan UU Ekraf tentang hak kekayaan intelektual sebagai penguatan upaya pemberantasan pembajakan buku.

Sumber: https://www.republika.id/posts/16911/literasi-tanpa-nomenklatur

Skip to content