Oleh Arys Hilman
Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi)

Gambar 1. Literasi Dasar

Definisi Literasi
Membincangkan penyediaan dan akses buku, pertama-tama tentu terkait dengan literasi. Mengutip Cambridge Dictionary, literasi adalah “The ability to read and write…” dan “Knowledge of a particular subject or a particular type of knowledge”. Sementara, menurut UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan, literasi adalah kemampuan untuk memaknai informasi secara kritis sehingga setiap orang dapat mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai upaya dalam meningkatkan kualitas hidupnya.

Ada ragam literasi sebagaimana terlihat pada gambar 1. Dalam pembahasan ini berfokus pada literasi dasar, yakni baca-tulis, yang merupakan kecakapan kritis. Sebagai literasi dasar,  baca-tulis telah berkembang seiring kemunculan berbagai platform media baru. Informasi tidak selalu hadir dalam bentuk teks dan tidak selalu disampaikan dengan kata-kata.

Literasi dasar berkembang sebagai kecakapan pirsa-dengar dan kreasi. Selain itu, literasi dan numerasi bekerja pada tataran kecakapan kritis untuk memahami dan menganalisis informasi, serta menggunakannya untuk membuat tindakan yang berguna. Dalam kedua area ini, informasi hadir dalam bentuk teks, angka, simbol, grafik, bagan, dan tabel bahkan pada era kini dapat berupa produk audio, animasi, dan video. Empat literasi lainnya lebih mewakili pengetahuan substantif pada area tertentu sesuai definisi kedua Kamus Cambridge: Literasi ilmu pengetahuan, teknologi komunikasi dan informasi, keuangan, serta kebudayaan dan kewargaan.

Mengukur Literasi
Literasi tentunya tidak berhenti pada definisi. Untuk mengukur aktivitas literasi, ada faktor-faktor yang memengaruhi. Menurut Miller dan McKenna (2016), terdapat empat faktor yang dapat memengaruhi terjadinya aktivitas literasi. Keempat faktor tersebut adalah: 

  1. Proficiency atau kecakapan merupakan syarat awal agar seseorang dapat mengakses sumber-sumber literasi. Bebas buta aksara, misalnya, merupakan salah satu syarat kecakapan yang harus dimiliki untuk dapat membaca teks- teks tertulis. 
  2. Access merupakan sumber daya pendukung di mana masyarakat dapat memanfaatkan sumber-sumber literasi, seperti perpustakaan, toko buku, dan media massa. 
  3. Alternatives ialah beragam pilihan perangkat teknologi informasi dan hiburan. ‘Alternatif’ di sini dapat dimaknai sebagai opsi lain yang disediakan oleh perangkat elektronik dan digital dalam mengakses sumber-sumber literasi. 
  4. Culture meliputi gagasan, nilai, norma, dan makna yang dibentuk oleh keluarga, komunitas, dan lingkungan yang lebih luas yang turut memengaruhi perilaku literasi. Dalam hal ini ‘budaya’ dimaknai sebagai upaya membentuk kebiasaan atau habitus literasi. 

Dalam mengukur literasi, kita juga sering mendengar istilah Indeks Literasi. Riset Central Connecticut State University (2016) menyebutkan indikator-indikatornya, yakni:

  • Gambar 2. Ranking Indeks Literasi

    Surat kabar per kapita: Jumlah judul, tiras, jumlah media online, jumlah ekspor.

  • Perpustakaan: Jumlah perpustakaan sekolah, jumlah perpustakaan umum, jumlah perpustakaan perguruan tinggi, volume buku perpustakaan umum.
  • Input pendidikan: Tahun wajib sekolah, persentase anggaran pendidikan dari GDP).
  • Output pendidikan: Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS), Programme for International Student Assessment (PISA)
  • Persentase rumah tangga yang memiliki komputer (desktop maupun laptop) tidak termasuk ponsel dan TV.

Indeks literasi di Indonesia sendiri berada pada peringkat ke-60, seperti terdapat pada gambar 2.

Literasi Berakar Bacaan
Jika melihat empat faktor yang memengaruhi aktivitas literasi, maka tiga dari empat faktor tersebut berkaitan dengan buku, yakni: (1) kecakapan membaca, (2) akses terhadap bahan bacaan, (3) pengembangan kebiasaan membaca. Oleh karena itu, perpustakaan sekolah berperan penting dalam upaya pengembangan kebiasaan membaca yang dapat meningkatkan tingkat kecakapan membaca.

Namun, ketika kita berbicara tentang kecakapan membaca, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa Indonesia memiliki melek huruf tinggi, tetapi performa membaca yang rendah. Berdasarkan Survei BPS (2021), sebanyak 96,04 persen masyarakat Indonesia sudah melek huruf. Bahkan di banyak provinsi, tingkat melek huruf melampaui angka 99 persen. Jadi, masyarakat Indonesia telah memenuhi persyaratan dasar aktivitas literasi. Namun, menurut OECD (2019) hasil asesmen menunjukkan tingkat kecakapan membaca (reading performance) masyarakat Indonesia berada pada level rendah.

Kecakapan Membaca Siswa Indonesia

Gambar 3. Tabel Asesmen PISA

Berdasarkan survey OECD (2019), kemampuan membaca para siswa Indonesia masih berada di bawah rata-rata para siswa dari mitra dan anggota OECD (lihat gambar 3). Hanya sekitar 30 persen siswa Indonesia yang memiliki kemampuan mencapai Level 2 (rata-rata OECD 70 persen). Mayoritas (69,9 persen) berada pada Level 1. Berikut ini kemampuan membaca berdasarkan level.

Level 1: 69,9 persen
Level 2: 21,8 persen
Level 3: 7,2 persen
Level 4: 1,1 persen
Level 5: 0,1 persen
Level 6: 0 persen

Gambar 4. Data OECD tentang Kecakapan Membaca Siswa Indonesia

Selain itu, siswa Indonesia juga gagal memahami kalimat panjang. Hampir 70 persen siswa Indonesia hanya dapat menangkap ide dalam teks yang disusun berupa kalimat-kalimat dengan panjang sedang, menyerap informasi yang disampaikan secara eksplisit, serta hanya memahami bentuk dan maksud teks yang disusun secara langsung.  Ini berarti sebagian besar siswa Indonesia tidak dapat memahami kalimat-kalimat yang panjang, gagal menangkap konsep yang abstrak, dan kesulitan membedakan fakta dan opini. Siswa Indonesia juga gagal membedakan fakta dan opini, seperti terlihat pada gambar 4.

Gambar 5. Tabel Ketersediaan Perpustakaan

Akses Bahan Bacaan
Berbicara tentang ases bahan bacaan, maka berbicara juga tentang kebiasaan membaca serta tingkat kunjungan masyarakat ke perpustakaan. Sayangnya, kebiasaan membaca, tingkat persediaan perpustakaan, dan tingkat kelayakan perpustakaan di Indonesia masih sama-sama rendah. Dua hal tersebut dapat dilihat pada data dari Lakip Perpusnas 2016 tentang ketersediaan perpustakaan yang rendah (gambar 5) dan data Statistik Pendidikan Dasar dan Menengah 2016/2017 Kemendikbud tentang tingkat kelayakan perpustakaan sekolah (gambar 6).

Gambar 6. Tabel Tingkat Kelayakan Perpustakaan

Sementara survei tentang kebiasaan membaca masyarakat Indonesia sepekan terakhir (gambar 7) dan tingkat kunjungan perpustakaan tiga bulan terakhir (gambar 8), juga menunjukkan angka yang rendah. Berdasarkan survei OECD (2019), yang menampilkan data aktivitas membaca selama 2009-2018, buku juga makin ditinggalkan. Masih berdasar survei OECD (2019), juga terjadi perubahan kebiasaan membaca. Gambar 9 menunjukkan persentase naik dan turun kebiasaan membaca antara 2009-2018.

Gambar 7. Data Kebiasaan Membaca Sepekan Terakhir

Gambar 8. Data Kunjungan ke Perpustakaan Tiga Bulan Terakhir

 

 

 

 

 

 

Gambar 9. Perubahan Kebiasaan Membaca

Berangkat dari Perpustakaan
Mengacu pada survei-survei dan data di atas, maka penyediaan dan akses kepada buku perlu berangkat dari perpustakaan. Hanya saja, banyak tantangan terkait hal tersebut.

Pertama, terkait koleksi perpustakaan. Masih banyak perpustakaan yang lebih memilih kebijakan memperbanyak volume alih-alih kualitas bahan pustaka. Banyak buku best seller, aktual, dan trending yang dijual di toko-toko buku, tetapi tidak tersedia di perpustakaan atau sekolah. Selain itu, terdapat faktor beleid HET yang membuat penerbit enggan memasukkan buku untuk pengadaan sekolah dan perpustakaan karena keberatan dengan beleid HET. Penjenjangan buku untuk sekolah juga tidak sesuai dengan penjenjangan yang sudah baku pada jalur pemasaran retail. Sehingga, perpustakaan dan sekolah memilih buku dengan pertimbangan harga murah dan volume besar alih-alih kualitas dan relevansi. Ditambah, perpustakaan tidak menawarkan alternatif akses literasi pengganti buku.

Kedua, terkait pemahaman sekolah. Buku tidak menjadi pilihan penting, karena sekolah/perpustakaan kurang memahami peran buku dalam kemampuan literasi bangsa dan pentingnya literasi bagi kemajuan bangsa. Sekolah/perpustakaan juga tidak memahami pentingnya konten di atas fisik buku dan tidak memiliki penghargaan terhadap nilai-nilai kreatif. Selain itu, sekolah tidak menempatkan pengadaan buku sebagai hal penting dibandingkan hal lain yang secara fisik megah atau canggih. Tidak ada bimbingan maupun ketentuan afirmatif untuk pembelian buku oleh sekolah misalnya dalam penggunaan dana BOS atau DAK. Hasilnya, pepustakaan dikelola sebagai kegiatan sampingan tanpa keterlibatan tenaga profesional yang memiliki kecakapan di bidang perpustakaan.

Gambar 10. Kendala Akses Literasi

Ketiga, terkait muatan lokal. Buku dianggap tidak relevan. Tidak ada satu daerah pun yang mengeluarkan peraturan daerah (perda) turunan UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan. Belum lagi, terjadi sengketa penilaian dan pengadaan buku muatan lokal karena ketidakpahaman pemerintah daerah terhadap ketentuan yang berlaku. Penerbit luar pun menguasai pengadaan buku di daerah-daerah karena memiliki modal dan jaringan pemasaran yang lebih kuat.

Keempat, terkait kendala akses literasi. Terdapat lingkaran setan antara indeks literasi yang rendah, akses terkendala kurangnya volume buku, hingga peran pemerintah dan penerbit (lihat gambar 10).

Gambar 11. Kebiasaan Membaca

Kelima, terkait membangun kebiasaan membaca. Kesenangan membaca harus diposisikan sebagai titik berangkat (gambar 11)

Gambar 12. Ekosistem Perbukuan yang Sehat

Keenam, terkait ekosistem perbukuan. Perlu dibangun ekosistem perbukuan yang sehat dengan hubungan yang produktif, harmonis, dan berkeadilan antara stakeholder perbukuan. Berdasarkan UU Nomor 3 Tahun 2017, pemerintah dan masyarakat sama-sama berperan menciptakan ekosistem yang sehat tersebut (gambar 12). Pasal-pasal yang menyebutkan tentang ekosistem perbukuan, antara lain:

  • Pasal 2 ayat 2: Penyelenggaraan sistem perbukuan harus memperhatikan ekosistem perbukuan.
  • Pasal 36: Pemerintah pusat bertanggung jawab: Menjamin terselenggaranya sistem perbukuan melalui ekosistem perbukuan yang sehat agar tersedia buku bermutu, murah, dan merata tanpa diskriminasi.
  • Pasal 68 ayat 2: Masyarakat berperan serta menciptakan dan memajukan ekosistem perbukuan yang sehat.

Sementara, menurut PP Nomor 75 Tahun 2019, ekosistem perbukuan yang sehat juga perlu dikembangkan oleh berbagai pihak, sebagaimana termaktub dalam pasal-pasal:

  • Pasal 56 Ayat 4: Pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat mengembangkan ekosistem perbukuan yang sehat untuk menghasilkan buku umum yang bermutu. 
  • Penjelasan Pasal 56 Ayat 4: Yang dimaksud dengan “ekosistem perbukuan yang sehat” adalah hubungan yang produktif dan harmonis serta berkeadilan antar-pelaku perbukuan serta antara pelaku perbukuan dan masyarakat pembaca. 
  • Pelaku perbukuan: Penulis, editor, penerjemah, penyadur, desainer, ilustrator, penerbit, pencetak, pengembang buku elektronik, dan toko buku.

Usulan-usulan
Berikut ini beberapa usulan terkait tantangan pengadaan dan akses terhadap buku bagi masyarakat.

1.Kebijakan yang Memihak Buku

  • Pengembangan budaya literasi dengan kembali mewajibkan anak-anak sekolah dasar dan menengah untuk membaca buku yang mereka sukai di sekolah setiap hari (Gerakan Literasi Sekolah).
  • Dukungan pemerintah terhadap kegiatan pengembangan minat baca yang diselenggarakan oleh industri dan masyarakat seperti pameran buku, diskusi buku, pelatihan menulis, taman bacaan masyarakat, dan subsidi pembelian buku.
  • Penyediaan buku berbasis kualitas, aktualitas, dan daya tarik alih-alih volume koleksi dan harga murah untuk kebutuhan perpustakaan-perpustakaan dan taman bacaan masyarakat. 
  • Pemilihan buku bermutu dan populer untuk mendapatkan peluang masuk ke sekolah-sekolah sebagai bahan bacaan siswa atau buku nonteks pelajaran.
  • Kampanye dan kebijakan afirmatif untuk pengadaan buku di perpustakaan/sekolah, misalnya melalui juknis pengadaan yang kembali mengatur persentase minimal penggunaan anggaran untuk buku.

2. Pengembangan budaya literasi

  • Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan nasional untuk mengembangkan budaya literasi bagi warga negara Indonesia. Pengembangan budaya literasi tersebut menjadi tanggung jawab bersama sehingga perlu dilakukan dengan memberdayakan sumber daya Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, masyarakat, Pelaku Perbukuan, satuan pendidikan, dan keluarga.
  • Pemerintah provinsi dapat menetapkan perda atau pergub dalam rangka akselerasi pengembangan budaya literasi di daerahnya (PP pasal 75 ayat 2). Ketentuan serupa berlaku untuk pemkab dan pemkot tersurat pada Pasal 76 ayat 2. Sampai saat ini, UU No. 3/2017 belum memiliki turunan dalam bentuk perda/pergub/perwal/perbup satu pun juga.

3. Ekosistem yang sehat

  • Pengembangan ekosistem perbukuan yang sehat sebagaimana amanat undang-undang bukan hanya menjadi kewajiban pelaku perbukuan melainkan juga tanggung jawab pemerintah di pusat maupun daerah. Demikian halnya dengan buku bermutu, murah, dan merata; memerlukan kesediaan pemerintah untuk turut mewujudkannya dan merupakan muara dari ekosistem perbukuan yang sehat. 
  • Ekosistem yang sehat mempersyaratkan hubungan yang produktif, harmonis, dan berkeadilan di antara para pelaku perbukuan. Perlu nilai apresiasi yang wajar dan memadai dari luar ekosistem terhadap kreasi dan kinerja mereka yang mencakup pula penghargaan atas buku sebagai produk kreatif melampaui komoditas yang berbahan kertas dan tinta belaka.

*Paparan ini disampaikan oleh Ketua UmumIkapi, Arys Hilman, dalam seminar Peningkatan Kualitas dan Kuantitas Buku Cerita Anak yang diadakan oleh Kemendikbudristek dan Inovasi, pada 8 Juni 2022.

Skip to content