Pembajakan buku di Indonesia telah menjadi industri yang produknya marak dijual di lokapasar. Praktik ilegal ini berpotensi membunuh kreativitas dan merugikan banyak pihak, mulai dari penulis, editor, desainer, ilustrator, penerjemah, penyadur, percetakan, penerbit, hingga toko buku.
Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Arys Hilman Nugraha mengatakan, penerbit buku di Tanah Air telah berupaya menyesuaikan diri dengan digitalisasi. Lebih dari setengah anggota Ikapi (dari jumlah anggota sekitar 2.000 penerbit) telah memproduksi buku digital.
Akan tetapi, di sisi lain, digitalisasi juga memperbesar peluang penjualan buku bajakan. Berdasarkan survei Ikapi pada 2021, sekitar 75 persen penerbit menemukan buku terbitan mereka dibajak dan dijual di lokapasar. Survei ini melibatkan lebih dari 130 penerbit. Kerugian akibat pembajakan ditaksir mencapai ratusan miliar rupiah.
”Pembajakan buku akan membunuh energi kreatif para pelaku perbukuan. Kita harus ikut mendukung buku-buku orisinal yang bisa membuat para penulis menghasilkan karya lebih baik lagi,” ujarnya.
Menurut Arys, sikap permisif, baik oleh penjual, platform penjualan, maupun pembeli, menjadi tantangan untuk mengatasi pembajakan buku. Harga yang lebih murah membuat buku bajakan diminati oleh banyak orang.
”Ini tantangan luar biasa. Di lokapasar, para penjual menyatakan bukunya kualitas setara orisinal. Pernyataan ini menunjukkan mereka tidak ada persoalan (menjual buku bajakan),” ucapnya.
Sejumlah pembeli juga tidak mempermasalahkan membeli buku bajakan. Harga yang murah, bahkan hanya 25 persen dari harga buku orisinal, menjadi alasan utamanya.
Baca juga: Para Pencuri Buku
Arys menuturkan, pelaku perbukuan, terutama penulis, menjadi pihak yang paling dirugikan akibat pembajakan buku tersebut. Sebab, mereka kehilangan hak mendapatkan royalti.
Industri perbukuan juga melibatkan komponen lain, seperti editor, penerjemah, penyadur, ilustrator, desainer, percetakan, penerbit, dan toko buku. Sementara produksi buku bajakan hanya menanggung biaya percetakan.
”Mereka tidak bayar royalti, desain cover, dan komponen lain yang terlibat. Itu yang membuat harga bukunya murah,” ucapnya.
Kondisi tersebut membuat iklim digital cenderung kurang sehat bagi industri buku. Biasanya, pembajakan buku yang dijual di lokapasar menyasar buku-buku dengan penjualan terbaik (best seller), terutama novel.
”Saya pernah mencari produk buku saya di lokapasar. Ketemu 10 toko yang menjual, enam di antaranya menjual produk bajakan,” katanya.
Arys menyebutkan, secara garis besar, pembajakan buku atau pelanggaran hak cipta ekonomi kreatif dibagi menjadi dua. Pertama, pembajakan seluruh isi buku yang bersumber dari bocoran soft file. Setelah itu, buku dicetak dan dijual secara massal.
Kedua, menggandakan sebagian isi buku seperti di tempat fotokopi. Praktik ini berlangsung sejak lama karena terdapat sikap permisif jika menyangkut urusan pendidikan, terutama di kampus-kampus.
”Untuk hal yang kedua ini memungkinkan ada skema untuk memberikan royalti kepada penulisnya. Namun, peraturan menterinya belum disahkan. Mudah-mudahan bisa selesai tahun ini,” jelasnya.
Arys menambahkan, pada Hari Buku Nasional yang diperingati setiap 17 Mei, pihaknya masih tetap fokus menyuarakan isu pembajakan buku. Selain menindak pembajak, diperlukan edukasi masyarakat agar tidak permisif terhadap praktik ilegal tersebut.
”Kami ingin penghargaan lebih tinggi terhadap karya intelektual. Dengan edukasi, diharapkan pembajakan buku bisa dikurangi,” katanya.
Baca juga: Menyelamatkan Perbukuan
Penulis sekaligus Duta Baca Indonesia, Heri Hendrayana, mengatakan, praktik pembajakan buku sudah terjadi sejak lama. Harga buku bajakan yang relatif murah membuat masyarakat tergiur membelinya.
”Dari dulu saya sering mendapati buku saya dibajak. Di era sekarang, orang-orang beralih ke lokapasar untuk mencarinya,” ujar penulis yang akrab disapa Gol A Gong itu.
Kesetaraan Akses
Salah satu masalah literasi di Indonesia adalah tidak meratanya akses terhadap sumber bacaan. Dibutuhkan dukungan regulasi agar produksi buku meningkat dan merata di semua daerah.
”Distribusi buku tidak merata. Kalau saja Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 (tentang Sistem Perbukuan) ada produk hukum turunannya di daerah, kondisinya mungkin bisa lebih baik,” ujarnya.
Regulasi itu juga diperlukan untuk mendukung penulis-penulis di daerah dalam memproduksi buku. Gol A Gong pun mendorong pemerintah memberikan subsidi harga kertas untuk mendukung perbukuan.
”UNESCO (Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa) menyarankan satu orang membaca tiga buku baru dalam setahun. Namun, Perpustakaan Nasional menemukan realitas di Indonesia, satu buku ditunggu 90 orang,” katanya.
Sumber: Kompas.id (Pembajakan Buku Membunuh Kreativitas)
Baca juga: Pembajakan Buku Berpotensi Membunuh Energi Kreatif Insan Perbukuan