oleh Anggun Gunawan
Berawal dari kegalauan terhadap minat baca dan literasi masyarakat yang rendah (UNESCO, 2002), Menteri Pendidikan Nasional Abdul Malik Fadjar mencanangkan Hari Buku Nasional pada 2002 dengan mengambil momentum tanggal berdirinya Perpustakaan Nasional, yaitu 17 Mei 1980. Secara bersamaan, peringatan Hari Buku Nasional juga merupakan perayaan untuk hari jadi Perpustakaan Nasional. Selain itu, pemilihan tanggal 17 Mei juga sangat terkait dengan jejak historis pendirian Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) pada 17 Mei 1950.
Perpustakaan Nasional (Perpunas) memang mendapatkan posisi strategis, Kepala Perpusnas langsung bertanggung jawab kepada Presiden melewati garis komando vertikal dengan kementerian tertentu dan mendapatkan alokasi anggaran Rp 723 miliar pada 2023. Namun, sebenarnya masih ada elemen-elemen ekosistem dunia perbukuan lainnya yang belum mendapatkan perhatian serius dari pemerintah alias masih berjuang untuk menyelamatkan nasibnya masing-masing.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan menyebutkan 10 pelaku perbukuan, yaitu penulis, penerjemah, penyadur, editor, designer, illustrator, pencetak, pengembang buku elektronik, serta penerbit dan toko buku. Perpustakaan tidak ”dianggap” sebagai pelaku perbukuan karena posisinya lebih kepada institusi perantara untuk penyebarluasan buku kepada masyarakat.
Baca juga: Menyelamatkan Perbukuan
Tidak seperti di Inggris yang merilis perkembangan revenue penjualan buku setiap tahun, sangat sulit bagi publik untuk mendapatkan data tahunan kondisi keekonomian buku di Indonesia. Data lama pada 2014 yang dikeluarkan IKAPI menyebutkan transaksi buku pada 2014 mencapai Rp 8,51 triliun dengan rincian Rp 5 triliun dari penjualan langsung di toko-toko buku, Rp 3 triliun dari buku-buku sekolah, dan Rp 510 miliar dari buku-buku proyek.
Hingga kini penulis belum mendapatkan lansiran terbaru dari Ikapi tentang potret angka-angka penjualan buku pada 2022. Tentu, dalam hal ini tidak bisa meninggalkan data dari marketplace, seperti Shopee dan Tokopedia yang menjadi mitra utama banyak penerbit Indonesia untuk menjual buku-buku fisik secara daring serta penjualan e-book yang semakin menggeliat, baik dioperasikan oleh perusahaan global seperti Google Book dan Amazon maupun oleh agensi-agensi lokal seperti Gramedia Digital, Aksara Maya, dan Kubuku.
Terbitan untuk ”Popularitas” atau ”Poin”
Tren masif yang terjadi dalam satu dekade belakangan ini dalam dunia buku Indonesia adalah semakin mudahnya orang untuk menerbitkan buku. Hal ini didorong oleh kemajuan teknologi print on demand dan kehadiran penerbit-penerbit yang memberikan jasa penerbitan buku dengan biaya murah meriah.
Menariknya adalah penerbit-penerbit vanity atau subsidy publisher ini bisa bergerak lebih lincah dan gesit, dan beberapa bisa bermetamorfosis menjadi penerbit mid-size dengan karyawan mendekati 100 orang. Penerbit-penerbit tradisional yang menjalankan pola bisnis lama dengan melakukan proses akusisi naskah dan penerbitan naskah dengan modal sendiri, kemudian juga membuka kran-kran keterlibatan pendanaan dari penulis untuk proses penerbitan sebuah buku untuk juga bisa menampung penulis-penulis baru atau ”tak terkenal” yang dari segi jumlah sebenarnya sangat besar angkanya.
Pilihan untuk menerbitkan naskah-naskah dari penulis yang sudah punya nama atau penulis baru yang melejit di berbagai aplikasi penulisan online, seperti Wattpad, merupakan model bisnis yang tentu harus tetap dipertahankan oleh penerbit untuk mendapatkan ledakan profit karena buku yang diproduksi kemudian menjadi best-seller dengan oplah penjualan ratusan ribu atau bahkan mencapai jutaan eksemplar. Namun, model vanity meskipun dari sisi copies keterserapan pasar tidak begitu tinggi bahkan mentok di bawah 50 eksemplar per judul buku, tetapi dari sisi peminatnya sangat besar dan mencapai jutaan orang.
Baca juga: Menyongsong Kebangkitan Perbukuan Nasional dengan Optimisme
Beberapa profil yang memerlukan jasa ini adalah dosen, guru, dan pegawai pemerintah yang membutuhkan kredit poin untuk kenaikan pangkat atau jabatan. Selain itu, ada penulis-penulis pemula dari beragam profesi dan latar belakang yang ingin eksis lewat buku. Jika jumlah mereka mencapai 5 juta orang saja dan dikalikan Rp 2 juta, potensi pasarnya sudah berada di angka Rp 10 triliun mengalahkan revenue penjualan buku di Indonesia pada 2014 yang baru mencapai Rp 8,5 triliun.
Penjagaan Kualitas
Beberapa orang menyindir bahwa praktik-praktik yang dilakukan oleh para vanity publisher (yang jumlahnya mencapai ratusan dan tersebar di berbagai daerah) ini telah menurunkan mutu buku-buku yang diproduksi dan disebarkan kepada masyarakat. Fungsi gate-keeper yang merupakan ciri khas utama dari penerbit tidak berjalan dengan baik karena selama si penulis mampu untuk membayar, penerbit akan tetap menerbitkan mau seperti apa pun tingkat keparahan atau kelebihan naskah yang masuk.
Tentu saja pendapat ini tidak sepenuhnya benar. Pengalaman saya membantu guru, dosen (termasuk di dalamnya para profesor), pemuka agama, mahasiswa, dan birokrat lewat skema vanity memberikan sebuah impresi bahwa naskah yang mereka miliki berkualitas tinggi dan mendapatkan atensi publik. Beberapa judul malah dikoleksi oleh perpustakaan kampus dan perpustakaan nasional di luar negeri.
Persoalan skema subsidy publishing ini tidak melulu soal kualitas naskah, tetapi lebih kepada ketidaktahuan banyak orang di Indonesia bahkan yang sudah memiliki titel akademik dan jabatan birokrasi tinggi tentang bagaimana proses penerbitan buku. Selain itu, naskah mereka juga sering kali ditolak oleh penerbit-penerbit tradisional (besar) yang memang mendasarkan akuisisi naskah buku berdasarkan prediksi keterjualan buku di pasar (cetakan pertama minimal 3.000 eksemplar).
Sayangnya, penjagaan kualitas naskah buku saat ini mau diarahkan kepada kepemilikan Sertifikasi Kompetensi yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Skema-skema yang sudah muncul dan telah diujikan secara masif, antara lain sertifikasi kompetensi penulisan buku nonfiksi, penyuntingan naskah, dan penyuntingan substantif. Pemilik sertifikat inilah yang kemudian dianggap sebagai penulis berkualitas dan editor berkualitas.
Persoalan lain adalah masih ada semacam monopoli penyelenggara sertifikasi ini yang terpusat kepada satu lembaga saja. Sementara Ikapi dan berbagai persatuan profesi penulis dan editor lainnya belum masuk sebagai lembaga yang tercatat bisa melakukan tes kompetensi di bidang perbukuan tersebut.
Urgensi Pendidikan Formal Kepenerbitan
Penjagaan kualitas dunia perbukuan di Tanah Air tentu tidak bisa hanya diserahkan kepada seberapa banyak sertifikat kompetensi terkait dunia penerbitan dikeluarkan oleh BNSP setiap tahun. Menarik melihat bagaimana Inggris sebagai kiblat penerbitan dunia membangun ekosistem penerbitan yang sehat sekaligus bergengsi.
Pada 1982, Politeknik Oxford mendirikan program studi (prodi) penerbitan yang pertama di Inggris. Saat ini ada sekitar 20 perguruan tinggi di Inggris yang memiliki program penerbitan dari level S-1 hingga S-3. Menariknya, para peminat prodi ini adalah anak-anak muda brilian dan berotak cerdas. Saat saya mengambil S-2 Publishing di Oxford Brookes University (dahulu bernama Oxford Polytechnic), ada dua orang alumni S-1 Cambridge University dan satu orang lulusan S-1 Oxford University yang merupakan kampus rangking pertama di THE (Times Higher Education University Rangking).
Para alumni prodi penerbitan inilah yang kemudian mengisi pos-pos penting di berbagai penerbitan besar di Inggris, seperti Oxford University Press, Cambridge University Press, Taylor & Francis, Wiley-Blackwell, ataupun Springer. Artinya, ekosistem industri penerbitan didukung oleh penyediaan sumber daya manusia yang memang dilatih khusus secara akademik pada keilmuan Publishing Studies. Keuntungan yang diperoleh industri penerbitan di Inggris tidak saja tenaga kerja yang kompeten, tetapi juga riset-riset seputar penerbitan yang dihasilkan oleh pusat-pusat penelitian yang dimiliki oleh berbagai kampus penyelenggara prodi publishing studies tersebut.
Ekosistem industri penerbitan didukung oleh penyediaan sumber daya manusia yang memang dilatih khusus secara akademik pada keilmuan publishing studies.
Baca juga: Para Pencuri Buku
Di Indonesia, hingga kini hanya ada satu kampus yang menyelenggarakan perkuliahan penerbitan buku, yakni Politeknik Negeri Media Kreatif, dan itu pun masih di level D-3. Oleh karena itu, yang terjadi sampai sekarang banyak pekerja bidang penerbitan yang masuk ke dunia ini lewat ”kecelakaan sejarah” saja dan insight dari perguruan tinggi terhadap industri lewat penelitian-penelitian berkualitas masih sangat rendah.
Di momen dua dekade Indonesia merayakan Hari Buku Nasional, sudah saatnya pemerintah membuat sebuah badan selevel Perpusnas untuk mengelola dunia perbukuan yang kalau dari sisi market value masih kalah dari sektor-sektor yang lain, tetapi dari sisi pembangunan peradaban bangsa memiliki peran yang sangat vital. Selain itu, inisiasi untuk mendirikan prodi-prodi penerbitan di berbagai kampus di Indonesia juga harus didorong oleh Kemendikbudristek untuk melahirkan SDM dunia yang kompeten dan riset-riset unggulan di bidang perbukuan.
Anggun Gunawan, Dosen Prodi Penerbitan Politeknik Negeri Media Kreatif Jakarta; Alumni S-2 Publishing Media, Oxford Brookes University, Inggris
Sumber: Kompas.id (Wajah Penerbitan di Indonesia)