Oleh Asma Nadia

Di berbagai media sosial dan portal berita, viral kabar tutupnya salah satu toko buku terbesar di Indonesia yang namanya sudah berkibar selama berpuluh tahun.

Lalu muncul pertanyaan. Apakah ini pertanda berakhirnya era toko buku? Apakah ini juga pertanda tamatnya era buku? Jika demikian, bagaimana nasib penerbit dan penulis?

Berbagai pertanyaan mengantarkan ingatan saya pada pertemuan dengan teman masa SMA, 10 tahun lalu. Saat itu ia bertanya usaha apa yang sedang saya geluti dan saya jelaskan sedang menjalankan usaha penerbitan.

Mendengarnya, ia malah balik bertanya, “Memang penerbitan masih punya masa depan?”

Teman saya sama sekali tidak sedang merendahkan, tetapi merujuk pada situasi saat itu. Sebagian kalangan memang mulai gandrung dengan perangkat baca buku digital. Beberapa tahun sebelum obrolan tersebut, pada November 2007, Amazon merilis gadget pembaca buku digital yang langsung ludes terjual hanya dalam waktu lima setengah jam.

Selanjutnya, perangkat tersebut selalu diburu dan stok selalu habis selama lima bulan berturut-turut sampai April 2007. Lewat perangkat elektronik yang simpel dan mudah dibawa ke mana-mana itu, jutaan buku bisa dibaca.

Popularitas bacaan digital kian melesat. Sayangnya, di Amerika fenomena ini berbanding lurus dengan satu per satu toko buku yang mulai gulung tikar. Akan tetapi, perkembangan itu belum terlalu menyentuh dunia perbukuan Indonesia hingga penerbitan yang saya dirikan masih berkembang cukup baik.

Namun, secara berangsur sebenarnya kehadiran buku digital semakin mengancam dunia penerbitan dan toko buku. Salah satu toko buku terbesar memilih mengurangi area penjualan buku.

Foto: malserpong.com

Sebagian lain hanya memberikan porsi 50 persen untuk buku, sedangkan 50 persen untuk stationary, alat olahraga, alat musik, kelengkapan hobi, seperti perlengkapan naik gunung, alat elektronik, sepeda, dan lain-lain.

Bahkan di beberapa cabang, mereka mengalokasikan hanya 20 persen sampai 30 persen saja untuk buku. Sisanya untuk produk nonbuku.

Baca juga: Masa Depan Buku di Indonesia, Adaptasi Digitalisasi dan Tantangan Pembajakan

Wabah Covid-19 yang terjadi bisa dikatakan mengubah segalanya. Jika sebelumnya penerbitan dan toko buku masih bisa beradaptasi karena perubahan budaya baca yang bergeser secara bertahap, pembatasan sosial membuat ketergantungan pada dunia digital makin tinggi.

Selama WFH, work from home atau bekerja dari rumah juga belajar secara daring, masyarakat kian jarang pergi ke toko buku. Banyak yang hijrah, tidak lagi membaca buku fisik dan menjadi penyuka bacaan digital.

Dunia penerbitan serta toko buku benar-benar terpukul dan tidak memiliki banyak waktu untuk beradaptasi. Akibatnya, tidak sedikit yang berguguran.

Lalu pertanyaannya, inikah akhir bagi toko buku, penerbitan, dan penulis?

Saya sendiri masih melihat bukan tak ada harapan untuk bertahan bahkan berkembang. Fenomena toko buku tutup, belum tentu akibat hilangnya minat baca buku konvensional. Bisa jadi, pembaca memilih membeli buku secara online, tidak lagi memburunya ke toko.

Jika itu yang terjadi, bisa saja toko buku mengubah diri dan menguatkan pelayanan yang mengombinasikan penjualan offline dan online.

Baca juga: Derai Air Mata Perbukuan Tanah Air

Hal serupa dilakukan dunia kuliner. Saat kita melihat banyak restoran sepi, juru masaknya justru sibuk dan omzet mereka tetap besar. Minimnya pelanggan bukan karena tidak ada yang membeli, melainkan lebih banyak pembeli yang memilih untuk memesan dari rumah.

Bukan mustahil mengikuti tren ini, geliat penjualan buku fisik masih bisa lebih lama dipertahankan para pengelola toko buku. Memang pihak penerbit di Tanah Air juga dipaksa gegas untuk mengombinasikan ketersediaan dan ragam buku fisik serta buku digital.

Penerbit juga harus mulai mengembangkan diri agar tidak lagi bergantung pada toko buku. Mereka bahkan bisa menjadi toko buku sendiri dengan membuat toko online atau menjual di marketplace.

Hanya saja perlu kehadiran pemerintah agar situasi yang sudah sulit tidak diperburuk dengan banyaknya pembajakan yang sampai saat ini tidak kunjung teratasi, bahkan kian menjamur di marketplace atau media sosial perseorangan.

Baca juga: Pembajakan Buku Membunuh Kreativitas

Bagaimana nasib penulis?

Ada fenomena yang sangat unik. Saat toko buku dan penerbit harus berjuang memperpanjang napas, era digital ini justru melahirkan kian banyak penulis yang mendapat berkah luar biasa.

Platform kepenulisan digital menjamur dan memberikan penghasilan kepada penulis jauh lebih banyak daripada masa buku konvensional. Sebut saja KBM App. Aplikasi ini sudah memberi bagi hasil (semacam royalti) pada penulis sampai Rp 22 miliar dalam dua tahunan.

Seorang penulis di aplikasi bisa meraup Rp 50 juta per bulan dengan total penghasilan nyaris menyentuh angka Rp 1 miliar. Sebagian besar penulis bahkan bukan sosok yang dikenal secara nasional di penerbitan mayor.

Sebuah fenomena yang belum pernah terjadi pada masa lalu sebelum era digital, khususnya sebelum pandemi. Dengan kata lain, masa depan dunia kepenulisan masih terbuka cerah, tetapi penulis dituntut adaptif sebab karakter dan tren kepenulisan di platform berbeda.

Harapan yang sama semoga juga masih terbuka bagi penerbitan dan toko buku. Ini mewakili keinginan para pencinta buku bahwa apa yang terjadi bukan akhir. Masih tersisa cukup ruang dan peluang. Tinggal bagaimana kita beradaptasi dengan perubahan.

Pada akhirnya, mereka yang bertahan selalu bukanlah yang terkuat melainkan pihak yang paling gegas dan baik dalam beradaptasi.

Sumber: Republika.id (Masa Depan Toko Buku, Penerbit, dan Penulis)

Skip to content