Modal paling dasar bagi kapasitas literasi adalah melek huruf. Dalam hal ini, kita tak terlalu punya persoalan karena lebih dari 96 persen masyarakat kita bisa membaca.
Namun, kapasitas literasi juga meniscayakan kemudahan akses terhadap bahan bacaan. Dari akses, langkah berlanjut ke pembudayaan kebiasaan membaca. Barulah kita bisa berharap kinerja baca masyarakat kita tumbuh dan kapasitas literasi meningkat.
Saat ini, yang terjadi adalah kemerosotan kapasitas literasi, salah satunya dalam variabel kinerja baca. Mayoritas masyarakat kita hanya berada pada level 1 dan 2, terbawah dari 6 level kinerja baca yang tersedia. Ini artinya, masyarakat kita hanya memahami kalimat-kalimat yang ringkas dengan abstraksi rendah. Mereka gagal mencerna kalimat yang lebih panjang dan kompleks.
Rendahnya kapasitas literasi berdampak pada minimnya penyerapan ilmu pengetahuan dan kemampuan berinovasi. Hal ini berdampak pada rendahnya kemampuan untuk meningkatkan kualitas hidup. Sebaliknya, kapasitas literasi bermuara pada kemajuan seseorang dan indeks literasi bangsa bermuara pada kemajuan peradaban bangsa tersebut.
Baca juga: Harbukfes Banten 2024: Ikapi Anugerahi Untirta sebagai Kampus Peduli Literasi
Sejak 2015, Indonesia mencatatkan kemerosotan dalam semua variabel indeks literasi, baik dalam hal literasi baca, numerasi, maupun sains. Tampaknya aneka pengenalan literasi—katakanlah literasi digital atau finansial—menjadi hampa karena dasar-dasar bagi kemajuan dalam variabel utama indeks literasi justru tidak terbangun.
Jadi, mari kembali ke fondasi literasi. Kembali ke buku. Manfaatkan tingkat melek huruf yang tinggi dengan mempermudah akses terhadap buku. Biasakan anak-anak membaca buku sejak dini. Gelorakan kembali gerakan literasi nasional.
Pemerintah, sesuai amanat UU No. 3 Tahun 2017, memiliki kewenangan dan tanggung jawab untuk membuat buku sampai ke tangan masyarakat. Pemerintah juga berwenang dan bertanggung jawab untuk menyehatkan ekosistem perbukuan, dari hulu yang mencakup buku itu sendiri hingga hilir yang mengembangkan budaya baca.
Tunjukkan kepemimpinan yang membawa pesan bahwa buku teramat penting untuk diabaikan. Kepemimpinan yang menangis saat satu demi satu toko buku tutup. Kepemimpinan yang teriris saat penerbit buku hidup bak kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati tak mau.
Negara-negara jiran kita kian melesat dalam menangani buku. Vietnam, Malaysia, Thailand, yang dulu mengekor kita, kini telah jauh melampaui. Kepemimpinan mereka telah membawa bangsa mereka pada kemajuan kualitas hidup. Indeks literasi mereka tumbuh sejalan dengan kualitas yang tecermin pada indeks pembangunan manusianya.
Jangan jadi orang bodoh. Ayo, kembali ke buku. []
Baca juga: Ketua Umum Ikapi Berbagi Lanskap Industri Buku Indonesia di Tehran International Book Fair 2024
Baca juga: Buku-buku Indonesia Mendapat Perhatian Audiens Doha International Book Fair