Buku kini tak hanya dinikmati secara fisik, tetapi juga bisa dibaca dalam kemasan digital (e-book), bahkan didengar melalui audio book. Meski demikian, popularitas buku cetak masih tak tergantikan. Bagi sebagian masyarakat, buku cetak masih menjadi pilihan utama untuk menghilangkan penat, menjadi media untuk berdiam dan kontemplatif, lepas dari kesibukan.
“Saya lebih suka buku cetak konvensional karena lebih mendukung untuk ‘menghilang’ sejenak dari kesibukan. Beberapa kali baca e-book, ujung-ujungnya malah buka media sosial, jadi enggak deh,” ujar Patricia Dian (28) di Cikarang, Jawa Barat, Kamis (16/5/2024).
Devin (27), warga Jakarta, juga lebih menyukai bentuk buku cetak yang lebih konservatif. Ia merasa betah berlama-lama membaca ketika bisa melihat buku sesuai wujud aslinya.
“Sampai sekarang enggak betah baca e-book. Baca buku fisik puas rasanya dari unboxing (buka kemasan), bolak-balik halaman, dan senang lihat tumpukan buku,” ujarnya.
Namun, maraknya media sosial membuat waktu bacanya menurun. Ia hanya mampu menyelesaikan 2-3 buku setahun. Padahal, sebelumnya lebih dari itu. Beberapa bulan terakhir, ia kembali berupaya membiasakan diri membaca buku di tengah kesibukannya. “Rasanya banyak waktu terbuang saat baca buku, padahal durasi buka telepon seluler jauh lebih lama,” kata Devin.
Wahyu N Cahyo, penyunting buku paruh waktu, mengatakan, dirinya tidak bisa meninggalkan buku fisik. Meskipun beragam buku kini bisa diakses melalui perangkat khusus, seperti Kindle yang diproduksi perusahaan Amazon, atau melalui aplikasi yang diunduh dari Google Play Store, baginya tidak ada yang bisa menggantikan buku fisik.
“Enggak ada yang bisa menggantikan baca buku fisik. Baca buku digital itu hanya terlihat di kota-kota besar yang terjangkau gawai, jarang kalau di kota satelit semacam Klaten dan Yogyakarta,” tutur Cahyo.
Cetak masih digandrungi
Laporan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) menunjukkan industri penerbitan berkontribusi Rp69,07 triliun atau 7 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2020. Diperkirakan ada 572.260 orang yang bekerja pada subsektor penerbitan pada 2021. Bandingkan, misalnya, dengan industri elektronik yang menyumbang kurang dari 2 persen PDB.
Ironisnya, pentingnya sumbangsih industri buku terhadap perekonomian dan peningkatan kualitas manusia tak sebanding lurus dengan perhatian padanya.
CEO PT Bumi Aksara Group, Lucya Andam Dewi menyatakan, industri buku belum mendapat perhatian banyak pihak. Saat ini, oplah buku cetak belum setinggi sebelum pandemi Covid-19. Pada saat yang sama, penjualan e-book juga tak meningkat signifikan. “Kalau toh ada tren berpindah dari cetak ke e-book, semestinya penjualan e-book juga tinggi. Namun, buktinya penjualan e-book juga masih rendah, belum bisa mengimbangi cetak,” kata Lucya.
Padahal, instansi pendidikan, seperti kampus dan sekolah, mulai beralih membeli e-book untuk perpustakaan. Namun, sebagian orang masih cenderung menyukai buku fisik untuk buku-buku pengetahuan yang sifatnya rumit, seperti fisika.
“Kalau dibilang perpindahan dari cetak ke digital, iya memang ada. Seharusnya naiknya signifikan, tetapi masih tak tergambar. Kami juga terbitkan buku digital interaktif, tetapi market share juga kecil,” ujar Lucya.
Selama ini, penjualan buku fisik ditopang oleh buku cerita anak dan buku populer, termasuk novel. Meski demikian, secara umum, oplah buku fisik turun 20-30 persen dibanding sebelum pandemi Covid-19. Lucya berpendapat, fenomena itu terjadi karena minat baca buku tak setinggi dulu. Banyak orang hanya membaca materi singkat berbekal mesin pencari, seperti Google. Akibatnya, tingkat pemahaman seseorang pun menjadi tidak dalam. Selain itu, perpindahan buku ke digital belum berhasil membangun pangsa pasar yang signifikan.
Sebelum pandemi, penerbit sanggup mencetak 3.000-5.000 eksemplar per judul per tahun. Saat ini, perlu lebih setahun untuk menjualnya buku sejumlah itu.
“Oplah buku turun, jumlah buku yang dicetak juga turun. Imbasnya, harga buku jadi lebih mahal. Penerbit mau cetak banyak buku, tetapi butuh modal tinggi,” ujar Lucya.
Dengan kondisi sekarang, penerbit mencetak 3.000 eksemplar per judul untuk setahun sudah tergolong bagus. Saat ini, penerbit hanya mencetak 1.000-2.000 eksemplar buku per judul per tahun. Buku-buku yang masih diminati pasar adalah buku cerita anak dan populer. Penjualannya lebih tinggi.
Business Development Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Esthela Yeanette, mengatakan, penjualan buku cetak masih naik tiap tahun. Novel masih mendominasi penjualan, tetapi buku nonfiksi, seperti buku sosial, ilmu pengetahuan alam, dan pengembangan diri (self-improvement) juga makin diminati.
la tak menampik bahwa sejumlah genre menurun penjualannya, antara lain komik. Tetapi, khusus komik, penjualan menurun karena pembaca mulai beralih ke komik digital. Hal itu juga menunjukkan popularitas e-book yang meningkat, tetapi posisinya memang belum berhasil menyamai buku cetak. “Meski penjualan e-book semakin baik, belum mengalahkan buku cetak,” ujar Sthela.
“Critical thinking”
Ketua Ikatan Penerbit Indonesia Arys Hilman Nugraha mengemukakan, masyarakat Indonesia sebenarnya gemar membaca. Namun, ketiadaan akses mendapat bacaan masih jadi penghambat. Kebiasaan membaca buku pun tak terbangun.
Menurut hasil Programme for International Student Assessment pada 2022, pencapaian skor kecakapan membaca Indonesia tergolong rendah. Tes yang dilaksanakan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organization for Economic Cooperation and Development/OECD) itu menunjukkan, skor membaca orang Indonesia ada di bawah rata-rata negara lain. Hal ini juga terjadi pada tes tahun 2000.
“Anak-anak kita hanya mampu memahami kalimat pendek. Mereka punya critical thinking rendah sehingga ketika diberi kalimat sedikit rumit saja jadi bingung,” kata Arys.
Dalam kondisi itu, penerbit harus menyiasati oplah buku yang menurun. Namun, proses cetak buku tetap perlu berlanjut.
“Tidak seperti dulu, kini penerbit menurunkan oplah cetak per judul pada cetakan pertama. Dari 5.000 eksemplar per judul turun menjadi 3.000, makin memburuk jadi hanya 1.000 eksemplar. Harga tentu akan jadi lebih mahal dibanding kami cetak lebih banyak,” tuturnya. Salah satu komponen penting agar harga buku lebih terjangkau adalah jumlah buku yang dicetak harus lebih banyak.
Fenomena tutupnya beberapa toko buku dan penerbit menandai rentannya industri penerbit. Kurangnya dukungan, baik dari pemerintah maupun masyarakat, menggoyahkan pertahanan mereka.
“Toko buku dan penerbit yang tutup menandakan butuhnya dukungan, butuh political will. Daya beli masyarakat kita tinggi, tapi jangan terlalu terpukau dengan pembangunan fisik saja. Aspek manusia harus dibangun juga,” tutur Arys.
Lucya mengemukakan, para penerbit kini lebih berhati-hati dan selektif untuk mencetak buku. Banyak hal dipertimbangkan agar proses cetak tetap bertahan. Kualitas buku harus tetap dipertahankan, antara lain ukuran dan berat kertas. Sebab, penurunan kualitas akan mengurangi kenyamanan membaca. Ada beberapa gambar yang harus dicetak dengan jenis kertas tertentu agar masih bisa dibaca jelas dan nyaman. Selain itu, kualitas isi juga sangat diperhatikan.
Perbaikan hulu-hilir
Untuk mendorong gairah industri perbukuan, Lucya mengusulkan pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan yang berpihak kepada industri buku, tidak hanya di hulu, tetapi juga hilir. Pemerintah bisa memberi insentif kepada siswa untuk wajib membeli buku. Dana yang diberikan dilarang untuk dibelikan hal lain, kecuali buku. Setelah itu ada keharusan membaca buku bagi anak-anak sekolah. Materi pelajaran bukan dicari melalui mesin pencari, tetapi lewat buku secara fisik. Keluarga juga perlu mengondisikan, mendukung anak-anak untuk membaca.
“Perlu ada kebijakan pemerintah agar penerbit hidup, penulis juga hidup. Jangan sampai penulis bekerja setengah mati, buku pun enggak dibaca,” ujar Lucya.
Sementara Arys mengusulkan agar program 15 menit membaca sebelum kegiatan belajar-mengajar perlu kembali digencarkan. Anak-anak bisa membaca apa pun, seperti buku, koran, majalah, tanpa tuntutan nilai. Hal ini demi menumbuhkan kecintaan mereka akan membaca. Apabila ekosistem membaca buku ini kembali bergairah, penerbit makin terpacu untuk terus meningkatkan kualitas terbitannya.
Dalam cakupan yang lebih luas, Indonesia perlu belajar pada negara-negara tetangga yang getol berkampanye pentingnya membaca buku. Pemerintah Vietnam, misalnya, menyediakan lahan khusus bagi para penerbit buku untuk berjualan. Banyak kegiatan dihelat sepanjang tahun, bahkan acara kenegaraan dilakukan di sana sebagai simbol pentingnya buku bagi bangsa. Pertemuan antara Perdana Menteri (PM) Vietnam Pham Minh Chinh dan Malaysia Anwar Ibrahimn, misalnya, dilakukan di pasar buku (book street) di Hanoi, Vietnam, pada 2023.
“Orang pun melirik, buku itu penting. Book street itu monumen bagi pembangunan buku, buku itu penting untuk bangsa,” ujar Arys.
Buku adalah menjadi gerbang bagi investasi jangka panjang kemajuan suatu negara. Apa yang ditabur, itu pula yang akan dituai. Semua pihak perlu bergerak agar ekosistem membaca di Indonesia kembali bergairah. []
Tulisan ini dikutip dari Kompas.id (https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2024/05/16/minat-pada-buku-cetak-belum-tergantikan-tetapi-butuh-dukungan)