Menyikapi kontroversi terkait daftar buku Sastra Masuk Kurikulum, Ketua Umum Ikapi, Arys Hilman Nugraha menyatakan bahwa Sastra Masuk Kurikulum dapat menjadi program yang baik untuk pengenalan karya sastra dan pembudayaaan kebiasaan membaca kepada anak-anak dan pelajar. Program ini, dengan cara kurasi yang benar, dapat menjadi kelanjutan dari Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang pernah berlangsung.

Bedanya, GLS tidak memberikan rekomendasi judul buku dan memberikan keleluasaan kepada anak didik untuk memilih buku apapun yang mereka minati dari koleksi perpustakaan/sekolah. GLS juga tidak masuk ke dalam mata pelajaran, melainkan ditempatkan pada awal jam sekolah, dan tidak boleh menjadi bahan ujian kepada siswa setelah mereka membaca. GLS benar-benar fokus pada upaya untuk membuat anak-anak/pelajar menyukai buku, mengakses buku, dan terbiasa membaca buku.

Sementara, Sastra Masuk Kurikulum memasukkan karya sastra ke dalam mata pelajaran, bisa pelajaran Bahasa Indonesia, Fisika, Sejarah, atau Biologi, sehingga substansi konten menjadi penting alih-alih pengembangan budaya baca.

Tidak semua karya sastra yang saat ini beredar cocok untuk anak-anak dan pelajar, sehingga perlu proses kurasi. Proses kurasi ini seharusnya tidak hanya melibatkan sastrawan tetapi juga para praktisi dan ahli, misalnya di bidang pendidikan, perbukuan, dan psikologi anak. Pemuatan disclaimer bukanlah cara yang tepat untuk membuat sekolah-sekolah dapat menyeleksi buku dengan benar.

Ilustrasi: Jawa Pos

Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra telanjur beredar dan memicu kegaduhan. Sebaiknya Kemendibudristek secepatnya menyatakan penarikan Panduan tersebut.

Langkah selanjutnya bukan sekadar memperbaiki daftar buku dan prosedur perekomendasian, melainkan memulai benar-benar dari awal kembali program ini dengan melibatkan tim yang lebih lengkap yang mencakup pula para ahli di bidang pendidikan, perbukuan, dan psikologi anak.

Keterlibatan para ahli tersebut justru ada dalam peraturan yang diterbitkan Kemendikbudristek terkait buku untuk pendidikan, namun tampaknya program Sastra Masuk Kurikulum tidak menggunakan regulasi tersebut.

Baca juga: Buku Murah, Penulis Sejahtera

Peraturan tentang buku-buku yang boleh dipakai oleh sekolah itu ialah Permendikbudristek Nomor 22 Tahun 2022 tentang Standar Mutu Buku, Standar Proses dan Kaidah Pemerolehan Naskah, dan Standar Proses dan Kaidah Penerbitan Buku; Permendikbudristek Nomor 25 Tahun 2022 tentang Penilaian Buku Pendidikan; Peraturan Kepala BSKAP Nomor 030/P/2022 tentang Pedoman Perjenjangan Buku; dan Peraturan Kepala BSKAP Nomor 039/H/P/2022 tentang Pedoman Penilaian Buku Pendidikan.

Selama ini memang ada kesenjangan antara buku yang tersedia di sekolah dan buku-buku bermutu, best seller, dan menarik minat baca yang ada di toko-toko buku.

Namun, sumber kesenjangan bukan pada pilihan buku atau ketiadaan rekomendasi, tapi pada kebijakan HET dari Kemendikbudristek yang membuat penerbit yang bukunya beredar di pasar enggan memasukkan buku tersebut ke sekolah-sekolah. []

Baca juga: Pernyataan Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) pada Hari Buku Nasional 2024 dan Hari Jadi ke-74 Ikapi, 17 Mei 2024

Baca juga: Menyaksikan Kuatnya Tradisi Literasi Iran di Tehran International Book Fair