Buku Terbuka, Pikiran Tertutup: Apakah Bangsa Ini Takut Berpengetahuan?

Jakarta, 21 Mei 2025. Menurut data statistik BPS (2023), persentase penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas yang melek huruf berada pada angka 96,53%. Dengan kata lain, masyarakat Indonesia berada pada tingkat melek huruf (literacy) tinggi dan buta huruf (illiteracy) rendah.

Namun, sejak 2015 Indonesia mencatatkan kemerosotan dalam semua variabel indeks literasi, salah satunya variabel kinerja baca. Mayoritas masyarakat Indonesia hanya berada pada level 1 dan 2, terbawah dari 6 level kinerja baca yang tersedia. Masyarakat Indonesia cenderung hanya memahami kalimat-kalimat yang ringkas dengan abstraksi rendah. Mereka gagal mencerna kalimat yang lebih panjang dan kompleks. Ini artinya, masyarakat kita memiliki literacy rendah dengan pengertian aliteracy tinggi, yaitu mereka yang bisa membaca ternyata tidak membaca. Ketersediaan buku telah melimpah dan terbuka, tetapi pikiran masih tertutup.

Dalam belitan aliteracy seperti ini, sangat sulit tumbuh kemampuan kritis terhadap informasi di dalam masyarakat. Masyarakat seperti ini kehilangan akses terhadap pengetahuan dan menjadi mangsa yang rapuh terhadap hoaks, kabar burung, berita bohong, dan disinformasi. Dampak lainnya adalah minimnya penyerapan ilmu pengetahuan dan kemampuan berinovasi. Masyarakat aliteracy juga akan kesulitan menjadikan informasi sebagai gerbang bagi kualitas hidup diri dan lingkungannya.

Selain masalah literacy vs illiteracy dan literacy vs aliteracy, Indonesia masih dihadapkan pada masalah akses terhadap buku, pembajakan, serta penyebaran pdf secara ilegal. Penerbit telah membuat buku—menjadikan “buku terbuka”, tetapi pikiran pemangku kepentingan yang masih tertutup, menjadikan buku yang sudah diterbitkan tidak sampai ke tangan pembaca yang membutuhkan. Pikiran tertutup pula yang membuat minat baca ditekan di bawah lemahnya pembinaan budaya baca.

Sementara itu, terkait masalah pembajakan, penerbit dan penulis seperti berjuang sendiri dalam menghadapinya. Undang-undang dan peraturan pemerintah yang ada cenderung tidak memihak dan menutup diri dalam penindakan secara hukum terhadap kajahatan pembajakan. Delik aduan terkait laporan pembajakan buku membuat para penulis dan penerbit seakan berjuang sendirian mengatasi pembajakan buku yang tak hanya merugikan secara ekonomi tetapi juga secara moral.

Pemerintah, sesuai amanat UU No. 3 Tahun 2017, memiliki kewenangan dan tanggung jawab terbesar terkait kapasitas literasi bangsa, di antaranya mengembangkan budaya baca dan menyehatkan ekosistem perbukuan. Upaya meningkatkan kapasitas literasi bangsa juga sangat bergantung pada leadership (kepemimpinan) dari segala lini, mulai dari presiden hingga para pemimpin daerah.  Namun, pikiran tertutup menjadikan amanat tersebut belum tunai dilakukan.

Ketua Umum Ikapi, Arys Hilman Nugraha, dalam pernyataan sehubungan Hari Buku Nasional 2025 menyampaikan keprihatinannya bahwa bangsa Indonesia gagal menjadi bangsa literat karena tak pernah menjadikan kegiatan membaca sebagai kebiasaan. “Masyarakat kita bukanlah pembaca yang baik dan reading society tak pernah terbentuk sejalan lompatan budayanya dari masa tontonan tradisional ke masa tontonan digital dan melalui begitu saja era pustaka,” ujarnya.

Menurut Arys, untuk melangkah ke kondisi literasi, melek huruf harus mendapatkan sokongan minat baca dan masyarakat kita tidak memiliki masalah tentang hal ini. Anak-anak selalu berebut saat ada pembagian buku dan memilih buku yang mereka sukai. Namun, minat baca tidak cukup. Prasyarat literasi berikutnya adalah akses terhadap bahan bacaan dan pembudayaan kebiasaan membaca. Dalam kedua hal terakhir inilah kita menemui rintangan.

Dalam momentum dan peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) ke-75 sekaligus Hari Buku Nasional pada 17 Mei 2025, Ikapi menyelenggarakan temu wicara dan diskusi terkait isu-isu dan permasalahan tersebut. Acara yang juga bagian dari pre-event Indonesia International Book Fair (IIBF) 2025 ini dilaksanakan pada 21 Mei 2025 di Jakarta. Melalui acara dengan tema “Buku Terbuka, Pikiran Tertutup: Apakah Bangsa Ini Takut Berpengetahuan?” diharapkan terjadi ruang dialog reflektif antar pemangku kepentingan—pemerintah, industri perbukuan, pegiat literasi, penulis, komunitas, hingga masyarakat umum.

Temu wicara menghadirkan empat narasumber, yakni Arys Hilman (Ketua Umum Ikapi), Supriyatno (Kepala Pusat Perbukuan, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah), Maman Suherman (Penulis, pegiat literasi, dan peraih Ikapi Awards 2024 kategori Literacy Promoter), serta J.S. Khairen (Penulis muda dan peraih Ikapi Awards 2024 kategori Writer of the Year), dan dimoderatori oleh Nathalie Indry (Tim Program IIBF 2025).

Sebagai asosiasi penerbit satu-satunya di Indonesia, dalam usianya yang ke-75, Ikapi terus berupaya meningkatkan fungsi dan peran buku dalam kehidupan masyarakat serta memajukan industri penerbitan buku, sebagai upaya ikut serta secara aktif mencerdaskan dan meningkatkan peradaban bangsa. Namun, upaya Ikapi perlu disokong banyak pihak, utamanya pemerintah. Menurut Arys Hilman, kepemimpinanlah yang dapat mengetuk pikiran tertutup.

Ketua Umum Ikapi periode 2020-2025 memberi contoh Presiden Prabowo yang sering menunjukkan kecintaannya pada buku. Beliau berkunjung ke toko buku, memamerkan perpustakaan pribadi, dan menunjukkan buku yang ia anggap penting untuk dibaca. Namun, Arys menekankan bahwa pertunjukan harus beriringan dengan kebijakan dan implementasi. Kepemimpinan bertanggung jawab merawat ekosistem perbukuan agar sehat sentosa. Ia tidak akan membiarkan para penulis gelisah karena perolehan royalti rendah, percetakan buku pusing memikirkan pajak kertas buku, penerbit menangis karena buku-buku mereka dibajak habis-habisan, toko buku kesepian karena tak satu pun pemerintah daerah yang memiiki program kunjungan ke toko buku, dan penyelenggara pameran buku merasa hidup-segan-mati-tak-mau karena tak mendapatkan dukungan dari pemerintah.

Melalui momentum HUT ke-75, Ikapi menegaskan pentingnya menolak pikiran tertutup yang selama ini membuat UU Sistem Perbukuan bias terhadap hulu perbukuan dan buku pelajaran sekolah. Ikapi ingin menggedor pikiran tertutup yang menganggap penerbit dan percetakan adalah hal yang sama. Ikapi berharap kita semua mengoreksi pikiran tertutup yang menafikan karya penulis dan penerbit negeri sendiri pada program buku untuk desa yang dibiayai APBN. Saatnya, melawan pikiran tertutup yang menjadikan nilai kontribusi PDB sebagai dasar untuk menetapkan dukungan anggaran bagi perbukuan. Sebab, buku sudah terbuka dan saatnya kita memaksa pikiran untuk terbuka pula. [Humas Ikapi]

Baca juga: Mengetuk Pikiran yang Tertutup
Baca juga: Perangi Buku Bajakan: Kolaborasi Shopee, Ikapi, dan Kemenekraf dalam Festival Penulis Lokal