Menurut Departemen Perdagangan Republik Indonesia, ekonomi kreatif merupakan industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan, serta bakat individu untuk menciptakan lapangan pekerjaan, dan pemanfaatan daya kreasi dan daya cipta individu tersebut.
Melansir situs web Kementerian Ekonomi Kreatif (Kemenekraf) www.ekraf.go.id, saat ini terdapat 17 subsektor ekonomi kreatif, yakni aplikasi, seni pertunjukan, penerbitan, periklanan, arsitektur, televisi dan radio, desain komunikasi visual, fotografi, film animasi dan video, kuliner, fesyen, desain produk, seni rupa, musik, desain interior, kriya, dan pengembang permainan. Dalam struktur organisasi Kemenekraf 2024-2029, penerbitan dan fotografi berada di bawah Deputi Kreativitas Media.
Hadirnya ekonomi kreatif berkaitan dengan pentingnya menghargai intellectual property atau biasa dikenal sebagai hak kekayaan intelektual (HKI). Mengutip laman Kemenekraf, HKI didefinisikan sebagai hak untuk memperoleh perlindungan secara hukum atas kekayaan intelektual, sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang HKI. Salah satu karya intelektual adalah buku.
Sayangnya, penghargaan atas buku sebagai karya intelektual masih belum lazim di negeri ini. Hal tersebut pernah disampaikan oleh Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), Arys Hilman Nugraha, dalam artikel di situs web www.ikapi.org. Mengapa hal ini terjadi? Menurut Arys Hilman karena para pembajak buku hanya menilai buku dari biaya cetak belaka. Pembajak tidak membayar royalti penulis, editor, desainer, ilustrator, penerjemah, dan penyadur. Tidak seperti penerbit buku aslinya, pembajak juga tidak memiliki risiko buku tidak laku karena mereka hanya mencetak buku yang sudah terbukti laku. Tak heran, pembajakan terhadap buku dan penyebaran pdf buku pun masih sangat massif dilakukan.
Maka, jelas pembajakan buku merupakan tindakan kriminal karena merugikan banyak pihak. Pembajakan buku merupakan upaya produksi buku yang memiliki tujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi tanpa memberikan keuntungan kepada penulis atau pihak hak cipta.
Membajak buku merupakan pelanggaran terhadap HKI juga pelangaran terhadap hak cipta. Buku merupakan salah satu bentuk ciptaan yang dilindungi oleh undang-undang, teatnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Masih mengutip Ketum Ikapi, begitu sebuah karya lahir, maka dua hak (hak moral dan hak ekonomi) dilindungi sesuai dengan prinsip deklaratif. Dalam arti tidak tercatat atau terdaftar sekalipun kedua hak tersebut sudah otomatis terlindungi. Membeli buku bajakan artinya mendukung tindakan kriminal bahkan kejahatan terhadap ekonomi kreatif.
Berikut ini dampak kejahatan pembajakan buku terhadap ekonomi kreatif.
- Merugikan banyak pihak. Selain penulis, pelaku perbukuan lain yang terdampak adalah penerbit buku itu sendiri, penyunting, desainer, ilustrator, penerjemah, penyadur, percetakan, hingga toko buku. Seperti disebutkan di atas, para pembajak hanya mencetak hasil akhir sebuah buku, padahal proses penerbitan sebuah buku bukan hanya cetak saja. Mulai dari pencarian naskah, pembelian hak cipta dan/atau royalti penulis, penyuntingan, penerjemahan (untuk buku terjemahan), pembuatan ilustrasi, desain grafis, danbanyak lagi. Selain itu, pembajak tidak membayar biaya operasional yang dikeluarkan penerbit buku seperti gaji karyawan penerbitan, gedung atau kantor, dan lainnya.
- Berpotensi mematikan kreativitas penulis. Dalam menulis membutuhkan rangkaian kegiatan yang membutuhkan energi pemikiran, kreativitas, fisik, termasuk biaya. Jangan berpikir bahwa menulis hanya membutuhkan ide saja. Bahkan, banyak penulis yang memerlukan waktu belasan tahun hingga akhirnya karya yang ditulis selesai dengan tepat waktu dan sempurna. Lantas, setelah diterbitkan, para oknum tidak bertanggung jawab dengan seenaknya membajak buku. Membuat penulis kehilangan hak ekonomi (royalti) dan hak moral (terlindungi hak ciptanya). Masih mengutip Ketua Umum Ikapi, bayangkan jika para penulis kesal lalu putus asa dan vakum menulis karena bukunya banyak dibajak, hal itu tentu akan menghambat proses kreativitas dan sama saja dengan mematikan kreativitas para penulis. Akan terjadi kerugian luar biasa bagi ekonomi kreatif jika para penulis dan juga insan kreatif lainnya dalam perbukuan, berhenti berkarya.
Nah, berikut ini beberapa hal yang bisa kita lakukan agar berkontribusi dalam mengurangi pembajakan buku.
- Jangan pernah membeli buku bajakan dan membaca pdf ilegal yang sering beredar di aplikasi percakapan seperti WhatsApp Group dan Telegram, serta media sosial.
- Jangan pernah menormalisasi: Beli buku bajakan karena kondisi darurat, tidak bisa membeli buku ori. Banyak, kok, cara untuk tetap bisa baca buku ori secara murah bahkan gratis.
- Bantu suarakan kepada teman atau circle kamu untuk tidak membeli buku bajakan dan membaca bahkan ikut menyebarkan pdf ilegal. Kalau circle kamu sudah aman, bantu kampanye dalam lingkup yang lebih luas. Kampanye ini bisa melalui media sosial atau secara langsung.
- Dukung para insan kreatif dalam perbukuan untuk mendesak pemerintah lebih serius memberantas pembajakan buku.
Semoga masyarakat luas lebih tersadarkan untuk tidak membeli buku bajakan dan apparat pemerintah juga lebih tegas terhadap para pembajak buku. []
*Artikel ini ditulis oleh Maylinda Zahrotul Qoirul Naim atas supervisi Humas Ikapi sebagai proyek mata kuliah Produksi Konten Multiplatform, Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah.
Baca juga: Para Pencuri Buku
Baca juga: Mengetuk Pikiran yang Tertutup