Banyak anak muda masih suka membaca. Namun, mereka tak punya uang membeli buku. Pameran buku dengan diskon besar-besaran membasuh dahaga mereka.
Harga buku di Indonesia kurang ramah bagi kantong pelajar. Penyebabnya beragam, mulai dari tingginya biaya produksi dan distribusi hingga minimnya dukungan pemerintah terhadap industri penerbitan. Tidak heran jika pameran buku yang menawarkan harga miring selalu diserbu pengunjung. Ini seperti pembasuh dahaga bagi pemburu diskon buku.
Lebih dari 50 pengunjung antre di depan kasir Zona Kalap dalam Indonesia International Book Fair (IIBF), Jakarta, Minggu (28/9/2025). Sebagian menenteng tiga buku atau lebih. Seperti tahun-tahun sebelumnya, zona ini masih menjadi favorit pengunjung.
Seperti namanya, pengunjung bisa kalap membeli buku di zona ini. Tawaran diskonnya sangat beragam, mulai dari 15 persen hingga 70 persen. Penawaran menarik lainnya membeli tiga buku seharga Rp 50.000. Jika belum cukup, terdapat paket harga Rp 100.000 untuk membeli 14 buku.
”Banyak buku yang bagus. Cuma, mesti jeli mencarinya di antara ribuan buku. Agak capek memang, tapi menyenangkan,” ujar Ramadhan (21), pengunjung asal Depok, Jawa Barat.
Siang itu, mahasiswa universitas swasta di Jakarta itu memborong lima buku, salah satunya adalah novel terjemahan. Buku lainnya bertema agama dan pengembangan diri. Ia hanya mengeluarkan uang kurang dari Rp 150.000 untuk membawa pulang buku-buku itu.
”Kalau di toko buku, mungkin hanya dapat dua buku. Pameran buku yang banyak diskon seperti ini sangat ditunggu-tunggu,” ucapnya.
Pengunjung lainnya, Dahlia (20), memburu buku anak yang dijual dengan harga terjangkau. Ia membidik buku dengan potongan harga di atas 50 persen.
”Selain harganya sangat terjangkau, buku-bukunya juga beragam. Saya beli buku ini untuk keponakan. Tadi beli tiga buku seharga Rp 50.000,” tuturnya.
Dahlia mengaku sudah sangat lama tidak membeli tiga buku sekaligus. Menurut dia, harga buku di toko relatif mahal. Pada hari terakhir IIBF, ia juga bergerilya dari stan ke stan lain untuk membeli buku-buku yang diproduksi penerbit mandiri atau indie.
”Soalnya, kalau cari di toko buku belum tentu ada. Makanya pameran buku seperti ini ibarat penghapus dahaga bagi para pencinta buku,” katanya.
Seperti toko buku, sekolah, dan perpustakaan, pameran mendekatkan masyarakat dengan buku serta semakin menumbuhkan kebiasaan membaca.
IIBF 2025 menghadirkan lebih dari 500.000 buku dengan harga sangat bervariasi. Kegiatan yang berlangsung sejak 24 September itu diikuti 125 penerbit dari 20 negara, di antaranya Malaysia, China, dan Turki.
Tak hanya pameran buku, ada juga berbagai kegiatan literasi lain, seperti diskusi buku, pameran ilustrasi, dan peluncuran buku. Kegiatan ini juga membuka peluang kerja sama penerbit Indonesia dengan penerbit asing sehingga buku-bukunya dapat dipasarkan lebih luas.
Memperluas akses bacaan
Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Arys Hilman Nugraha mengatakan, IIBF merupakan upaya untuk memperluas akses masyarakat terhadap bahan bacaan dan menciptakan suasana gemar membaca. Seperti toko buku, sekolah, dan perpustakaan, pameran mendekatkan masyarakat dengan buku serta semakin menumbuhkan kebiasaan membaca.
”Buku, akses terhadap buku, dan pemupukan kebiasaan membaca adalah kunci kapasitas literasi. Tidak ada bangsa yang maju tanpa peningkatan indeks literasi. Keduanya saling berkaitan karena literasi adalah kemampuan manusia dalam menyerap informasi untuk meningkatkan kualitas dirinya. Semakin literat suatu bangsa, semakin cepat pula kemajuannya,” tuturnya dalam pembukaan IIBF.
Menurut Arys, buku bukan sekadar media informasi, melainkan juga fondasi peradaban. Ketika akses terhadap buku diperluas, membaca menjadi budaya, para penulis dan penerbit mendapatkan perlindungan dan apresiasi yang layak, bangsa Indonesia akan tumbuh di atas fondasi intelektual yang kokoh.
”IIBF 2025 adalah panggung untuk memulai perjalanan tersebut. Dalam semangat eksplorasi dan pencerahan, marilah kita kembalikan buku ke tempatnya yang semestinya, yaitu di pusat peradaban,” ujarnya.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyampaikan, IIBF tak cuma pameran buku, tetapi juga berfungsi sebagai ruang diplomasi budaya, di mana penulis, penerbit, dan agen literasi bertukar ide dan inspirasi. Pihaknya menempatkan literasi dan penerbitan sebagai bagian penting dalam Manajemen Talenta Nasional (MTN) seni budaya.
”Melalui MTN, pemerintah berupaya mengidentifikasi, membina, dan menghubungkan talenta-talenta unggul bangsa, termasuk penulis, penerjemah, editor, ilustrator, dan penerbit,” ucapnya.
Antusiasme pengunjung IIBF mengindikasikan tidak sedikit generasi muda Indonesia yang haus membaca buku. Hanya saja, mereka sering terkendala dengan harga buku yang masih relatif mahal. Memburu buku dengan harga yang terjangkau pun menjadi pilihan.
Mungkinkah pemerintah mau menyubsidi buku (selain buku teks pelajaran) bagi para pelajar untuk mendongkrak literasi bangsa? Jika bisa memberi makanan bergizi gratis, mengapa buku tidak?
Sumber: https://www.kompas.id/artikel/pembasuh-dahaga-pemburu-diskon-buku
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 September 2025 di halaman 5 dengan judul “Membasuh Dahaga Pemburu Diskon Buku”.


