oleh Arys Hilman, Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi)

Lima ratusan kopi novel Katabasis ludes dari meja displai. Tak terbendung, kerumunan kemudian beranjak ke edisi sampul keras yang lebih mahal. Para Gen Z agaknya menanti benar karya penulis Amerika RF Kuang tersebut; sebuah kisah fantasi berbahasa Inggris yang masih segar, baru meluncur secara global pada 26 Agustus 2025. Harga Rp315 ribu atau Rp530 ribu per kopi bukanlah rintangan bagi mereka untuk bisa menjadi bagian dari komunitas pencinta buku dunia yang terkoneksi secara digital.

Bisa jadi ada semacam FOMO alias takut ketinggalan zaman. Namun, fenomena di arena Indonesia International Book Fair (IIBF) pekan lalu di JICC itu membawa kabar gembira tentang kelahiran generasi baru kutu buku Indonesia. Bukan hanya kerumunan di kluster buku berbahasa Inggris, melainkan juga di rak-rak buku filsafat, fiksi, sejarah, agama, dan bacaan anak-anak. Ada harapan bahwa teknologi, selain menghadirkan disrupsi, juga melahirkan kemungkinan baru yang membawa buku kembali ke tempat seharusnya, yakni di tengah percakapan masyarakat.

Kehadiran para Gen Z pada pameran buku IIBF 2025 melengkapi gerakan politik-intelektual yang mereka usung pada aksi-aksi massa Agustus lalu. Mereka yang amat terhubung dengan media sosial ini ternyata adalah anak-anak muda pembaca buku. Mereka menepis anggapan bahwa bangsa kita luput dari era pustaka dan seolah melompat dari era pra-pustaka ke pasca-pustaka gara-gara lebih terpukau wahana digital. Mereka menunjukkan diri: Mereka punya minat baca.

Tindakan polisi menyita sejumlah buku dari para peserta aksi menjadi viral di media sosial dan malah mengokohkan tesis bahwa mereka yang berdemo tidak datang dengan otak kosong. Tindakan polisi justru menjadi promosi gratis buku-buku yang disita. Sekarang para Gen Z justru penasaran dengan isi buku Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme karya Frans Magnis-Suseno atau autobiografi Strategi Perang Gerilya Che Guevara dan bisa jadi mereka akan membeli dan membacanya dalam waktu dekat.

Ledakan jumlah pengunjung IIBF pada 24-28 September lalu, walaupun belum keluar angka resmi, tampaknya juga tak terlepas dari peran media sosial. Antrean tidak hanya terjadi di kasir-kasir stan yang menjual bacaan murah, tetapi juga pada stan-stan buku reguler dan distributor buku berbahasa Inggris. Kerumunan tidak hanya ada di akhir pekan, tetapi juga pada hari-hari kerja dan pada malam-malam menjelang detik-detik penutupan. Peer rujukan pembaca dalam memilih bahan bacaan telah bergeser dari teman sekolah yang membeli komik di toko buku, atau meminjam novel dari perpustakaan, ke para bibliophile global yang menuliskan tinjauan di situs-situs komunitas baca seperti Goodreads.

Baca juga: Opening Speech the President of Ikapi at Indonesia International Book Fair 2025

Di luar asumsi umum, buku cetak masih menjadi pilihan utama pembaca dan penerbitan sama sekali bukanlah industri di ujung senja. Ini sesuai dengan survei Goodstats pada tahun ini bahwa buku cetak tetap menjuarai laga dengan 79 persen preferensi pembaca, berbanding dengan buku elektronik (18,5 persen), buku audio (0,5 persen), dan kelompok yang tidak memiliki preferensi (2,1 persen). Bagi sebagian pembaca, menikmati bacaan belum lengkap jika belum menyentuh kertasnya. Bagi penerbit, pendapatan yang mencapai 90 persen dari buku cetak tentu lebih menarik daripada porsi di bawah 10 persen dari buku elektronik.

Indonesia dikenal sebagai masyarakat pemamah konten digital yang rakus dengan screen time hingga 7,5 jam per hari. Menurut Goodstats, jumlah koneksi ponsel kita mencapai 356 juta atau setara 125 persen dari total populasi manusianya. Terdapat 212 juta warga yang menggunakan internet pada awal 2025, sementara penetrasi daring mencapai 74,6 persen. Negeri ini adalah rumah bagi 143 juta pengguna media sosial, sebanding 50,2 persen dari total penduduk.

Jika pada masa lalu, peran penjaga gawang informasi ada pada para tokoh dan fungsi agenda setting melekat pada media massa, kini media sosial mendemokratisasi fungsi dan peran tersebut. Dalam dunia yang mengerut karena media sosial, Gen Z Indonesia bersikap dan bertindak sama dengan mitra mereka di negara lain. Bahkan dalam penggunaan bendera One Piece sebagai simbol perlawanan, anak-anak muda Indonesia kelahiran 1997-2012 justru menginspirasi gerakan politik Gen Z di Nepal, lalu bergulir ke Kenya, Maroko, Madagaskar, hingga Peru. Tak ada lagi batas negara; mereka mendapatkan paparan informasi yang sama dan mengambil sikap yang serupa terhadap kesenjangan ekonomi, ketidakadilan, korupsi, dan perilaku bermegah-megahan para pejabat yang diupah dengan pajak rakyat.

Baca juga: Membasuh Dahaga Pemburu Diskon Buku

Dalam hal ini, buku mendapatkan manfaat dari kehadiran media sosial, sementara teknologi digital–di luar angggapan umum–justru menjadi berkah bagi insan perbukuan. Sebagian besar pembaca buku, yakni 62,5 persen, menemukan informasi tentang buku baru di media sosial. Sebanyak 48,7 persen dari mereka juga memiliki kemungkinan membaca atau membeli buku yang dipromosikan melalui media sosial. Pada sisi lain, 65,3 persen dari mereka memanfaatkan lokapasar daring untuk membeli buku. Tak heran, ada penerbit buku yang panen penjualan hingga miliaran rupiah per  judul per bulan karena memiliki booktok affiliate pemasaran yang tepat di Tiktok. Juga, ada buku yang amat populer karena menjadi bahan perbincangan komunitas bookstagram di Instagram.

Kelahiran Gen Z sebagai kutu-kutu baru buku sesungguhnya membenarkan pendapat bahwa bangsa Indonesia tidak kekurangan minat baca. Bermodalkan tingkat buta aksara yang rendah, bangsa Indonesia memiliki potensi untuk menjadi masyarakat literat. Namun, tingkat illiteracy yang rendah tidak serta-merta berguna jika tingkat aliteracy tinggi–dalam pengertian bahwa melek huruf tak membuat mereka menjadi masyarakat pembaca. Masih ada dua fase menuju masyarakat pembaca, yakni ketersediaan akses terhadap bahan bacaan dan pembudayaan kebiasaan membaca.

Pameran merupakan salah satu akses terhadap bahan bacaan–sebagaimana toko buku, taman bacaan masyarakat, atau pojok baca. Ikhtiar penyelenggara pameran untuk menggabungkan kekuatan media sosial para pesertanya menjadi kunci keberhasilan acara. Ada ratusan pembicara, penulis, editor, ilustrator, penerbit, dan pelaku ekonomi kreatif lain yang turut memperbincangkan acara ini di media sosial karena mereka terlibat langsung dalam agenda-agenda kegiatan. Mereka rata-rata memiliki ratusan ribu hingga jutaan pengikut sehingga jangkauan IIBF di media sosial mencapai puluhan juta orang.

Gelombang baru pencinta buku tampak pula pada kehadiran Gen Z di perpustakaan-perpustakaan dan toko-toko buku. Sepanjang dua akses baca tersebut bersedia menyesuaikan diri dengan kecenderungan dan gaya hidup mereka, perpustakaan dan toko buku tak perlu cemas akan kehilangan pengunjung. Lihat saja Perpustakaan HB Jassin milik Pemprov DKI di Taman Ismail Marzuki (TIM), tempat anak-anak muda menghabiskan malam; atau Perpustakaan Nasional di kawasan Monas, tempat keluarga-keluarga mengisi akhir pekan di antara rak-rak buku; atau di perpustakaan Baca di Tebet, tempat para Gen Z rela membayar uang masuk Rp30 ribu untuk bisa membaca, di luar harga kopi yang mereka sesap.

Baca juga: Ikapi dan Menbud Dorong Langkah Strategis Kenalkan Sastra Indonesia ke Dunia

Pada akhirnya, para penulis dan penerbit menemukan sendiri jalan keluar atas kebuntuan akses masyarakat terhadap bahan bacaan. Pepatah bahwa dalam awan tergelap sekalipun selalu ada warna keperakan tampaknya menemui pembuktian. Kekacauan tata kelola perbukuan dan kerancuan struktur pembinaan industri penerbitan oleh pemerintah ternyata tidak menghalangi perubahan. Masyarakat tak mengikuti kekeliruan pemahaman negara tentang transformasi digital. Ini bukanlah sekadar peralihan wahana dari kertas ke dalam layar, melainkan persoalan cara berpikir baru. Para digital migrant di pemerintahan yang berasal dari kalangan boomer harus bersedia berendah hati dan bertanya kepada Gen Z yang jelas-jelas digital native tentang hal ini.

Kisah suram mengiringi pengelanaan buku dalam sepuluh tahun terakhir: Indeks literasi baca anak-anak Indonesia usia 15 tahun, berdasarkan riset PISA, telah melorot hingga 38 poin sejak 2015. Menjelang pandemi, Kementerian Pendidikan mengeluarkan beleid yang membuat sekolah-sekolah tak tergugah untuk berbelanja buku. Buku-buku umum enggan masuk dalam daftar bahan bacaan siswa karena ketentuan HET yang tak sesuai perhitungan keekonomian. Nomenklatur literasi hilang dari tugas dan fungsi Kemenko PMK. Sementara, penerbitan sebagai subsektor ekonomi kreatif yang berkontribusi hingga Rp 69 triliun terhadap PDB per tahun tak mendapatkan kick back sepadan dari negara. Penerbitan tidak masuk kategori subsektor unggulan, juga bukan prioritas.

Buku adalah sumber pengetahuan dan imajinasi. Pengetahuan menghadirkan inovasi. Imajinasi melahirkan kreativitas. Tak ada bangsa yang maju yang tak memiliki keunggulan penerbitan buku dalam perjalanannya sejarahnya. Juga, tak ada pemerintahan yang mempraktikkan seni untuk bersikap masa bodoh terhadap buku yang dapat membawa bangsa kepada kemajuan.

Teladan telah tampak dari kepemimpinan yang mencintai buku. Ini penting bagi masyarakat yang haus akan role model. Bagus jika seorang presiden berbelanja buku di setiap kunjungan luar negerinya atau para menteri mempertontonkan perpustakaan pribadi mereka. Namun, teladan tak memadai jika tak terimplementasi dalam kebijakan dan tindakan pemerintah. Saat berbicara tentang Indonesia Emas 2045, jangan-jangan kita sudah tertinggal jauh oleh Malaysia dan Vietnam karena kita tak mengajak serta buku ke dalam visi indah tersebut.

Sumber: https://www.tempo.co/teroka/generasi-milenial-pecinta-buku-2076150

Versi cetak artikel ini terbit di Tempo edisi 4 Oktober 2025.