oleh Arys Hilman Nugraha, Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi)

Dunia penerbitan buku tidak saja penting secara ekonomi. Sebagai sokoguru kemampuan literasi baca, industri penerbitan memiliki sisi moral dan ideal tentang bangsa yang maju dan beradab. Sudah menjadi keyakinan bersama bahwa masyarakat yang memiliki budaya baca (reading society) akan mengantarkan bangsa ke gerbang kemajuan, karena hal itu menandakan tingginya minat masyarakat terhadap ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi, serta memiliki nalar kritis.

Bangsa Indonesia memiliki modal besar literasi baca ini karena lebih dari 98 persen penduduknya telah melek huruf. Sayangnya, kemajuan dalam kemampuan membaca tidak lantas mendorong masyarakat memiliki budaya baca. Ada faktor lain yang memengaruhi, yaitu ketersediaan bahan bacaan dan pembinaan kebiasaan membaca.

Terjadinya pandemi Covid-19 telah mengganggu proses penyediaan bahan bacaan dan pembinaan kebiasaan membaca. Ini akan bermuara pada terhambatnya pergerakan bangsa menuju gerbang kemajuan. Pasar perbukuan mengalami kemerosotan tajam. Mayoritas penerbit (58,2 persen) mengalami penurunan penjualan lebih dari 50 persen. Sebanyak 29,6 persen penerbit mengalami anjlok 31-50 persen, sebanyak 8,2 persen penerbit mengalami penurunan 10-30 persen.

Pada saat pandemi, pemerintah pun mengurangi bahkan menghentikan pembelian buku. Padahal belanja buku pemerintah saja setiap tahun lebih dari Rp10 triliun. Pada tahun lalu, sebanyak 71,4 persen penerbit tidak lagi menerima pemesanan buku dari dinas-dinas pendidikan dan perpustakaan daerah. Sebanyak 26,5 persen mengaku masih menerima pemesanan, namun jumlahnya berkurang (sumber: Survei Ikapi).

Dunia perbukuan Indonesia di kala pandemi mengalami situasi berbeda dengan negara yang memiliki indeks literasi tinggi seperti Amerika Serikat dan Inggris. Penjualan buku di kedua negara tersebut justru melonjak gara-gara pandemi. Indeks literasi yang tinggi bermuara pada ekosistem perbukuan yang sehat. Tanpa campur tangan pemerintah pun, masyarakat berbondong-bondong membeli buku. Karena jumlah produksi tinggi, harga buku pun menjadi lebih murah. Andai hal ini terjadi di Indonesia, tujuan 3M menurut UU Sistem Perbukuan No. 3 Tahun 2017, yaitu buku (ber)mutu, murah, dan merata, niscaya lebih mudah tercapai.

Keputusan Ikapi untuk menyelenggarakan Festival Hari Buku Nasional (FHBN) di kampus Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Serang, Banten, pada 26-30 Mei 2021 berangkat dari keyakinan tentang perlunya perbaikan besar ekosistem perbukuan yang berkelindan dengan indeks literasi. Keterlibatan menyeluruh penerbit, penulis, pegiat literasi, CSR korporasi, pemerintah daerah, perpustakaan, sekolah, dan perguruan tinggi dalam penyelenggaraan kegiatan itu diharapkan menyalakan gairah literasi baca dan membentuk ekosistem berkelanjutan yang unsur di dalamnya saling menghidupi.

Pembajakan buku

Pandemi sesungguhnya telah mempercepat proses transformasi digital di kalangan penerbit. Sebanyak 40,8 persen penerbit telah memproduksi buku digital dan 74,5 persen menjual buku secara daring. Namun, kontribusi buku digital terhadap pendapatan tidak sampai 10 persen. Demikian halnya penjualan secara daring.

Transformasi digital pun tidak seindah harapan. Dunia digital sangat permisif terhadap pembajakan dan penggandaan ilegal. Sementara, regulasi tidak berpihak kepada penerbit buku. Sebanyak 54,2 persen penerbit menemukan pembajakan buku mereka di marketplace (lokapasar) daring. Pembajakan buku telah menjadi industri besar.

Teknologi sesungguhnya membuka peluang bagi industri perbukuan untuk menemukan cara baru berjualan. Penerbit bisa langsung menjual produk mereka melalui toko-toko daring (webstore) milik sendiri maupun lewat akun-akun mereka di lokapasar seperti Shopee, Tokopedia, Bukalapak, dan lain-lain. Namun, ketika memasuki lokapasar, para penerbit ternyata juga harus berhadapan dengan maraknya penjualan buku bajakan. 

Di dunia perbukuan, penerbit yang sebagian besar merupakan usaha kecil dan menengah (UKM) seakan harus berhadapan dengan perusahaan berskala unicorn. Penerbit tidak bisa mengadukan lokapasar daring sebagai pelanggar hak cipta walaupun lokapasar tersebut memfasilitasi penjualan buku bajakan. Surat Edaran Menkominfo Nomor 5/2016 menyediakan ketentuan safe harbour yang membebaskan mereka dari tanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan pedagang. Pengaduan atas penjualan buku bajakan cukup mereka layani dengan menghapus toko penjualan produk bajakan tersebut.

Ikapi telah mengajukan sejumlah langkah kepada pemerintah dalam kerangka pemulihan ekonomi nasional (PEN).

Pertama, langkah penyelamatan: (1) Buka kembali keran pembelian buku oleh pemerintah baik melalui pengadaan di Kemendikbud maupun kementerian lain dan lembaga-lembaga non-kementerian. (2) Fasilitasi kepesertaan penerbit ke dalam sistem pengadaan pemerintah melalui LPSE. Buku sebagai cenderamata setiap kegiatan pemerintah, menggantikan barang-barang impor, dengan tema sesuai kegiatan: pertanian, perbankan, parenting, kebudayaan, dll. (3) Pengadaan buku untuk perpustakaan umum dan sekolah serta taman bacaan masyarakat. (4) Relaksasi pinjaman perbankan. (5) Pembebasan PPN kertas buku, tinta buku, dan pencetakan buku. (6) Subsidi pajak untuk PPh penulis. (7) Sosialisasi pembebasan PPN buku sesuai PMK No. 5/PMK.010/2020). (8) Tindakan pembasmian pembajakan buku cetak dan digital, termasuk penjualan buku bajakan di lokapasar daring.

Kedua, langkah pemulihan: (1) Insentif penerbitan buku berupa biaya cetak dan royalti penulis dengan memperhatikan jumlah judul yang diproduksi penerbit sebelum terjadinya pandemi. (2) Pemberian hibah/grant kepada penerbit untuk program pemasaran buku. (3) Pemberian vaksinasi bagi para pelaku ekonomi kreatif subsektor penerbitan menjelang pemberlakuan pembelajaran tatap muka di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, mengingat penerbit adalah salah satu pihak yang akan terlibat dalam penyediaan sarana belajar. Ketiga, langkah normalisasi: (1) Dukungan penyelenggaraan pameran oleh asosiasi (Ikapi) di pusat maupun daerah yang berorientasi kepada hasil penjualan oleh penerbit maupun perbaikan iklim literasi. (2) Dukungan penyelenggaraan pameran internasional dan literary agent nasional yang membuka akses terhadap penjualan intellectual property (IP) karya penulis Indonesia ke luar negeri. (3) Dukungan pengembangan infrastruktur lokapasar (marketplace) daring milik asosiasi (Ikapi) demi pengembangan pasar maupun perlawanan terhadap tindakan pembajakan. (4) Pembentukan satgas antipembajakan dan keberpihakan yang tegas terhadap pemilik hak cipta (IP) dalam melawan para pembajak baik di lokapasar daring maupun di pasar buku konvensional. (5) Penyusunan peraturan pemerintah sebagai turunan UU Ekraf tentang hak kekayaan intelektual sebagai penguatan upaya pemberantasan pembajakan buku.

Skip to content