Pertama-tama saya mengucapkan selamat kepada Pengurus Daerah Ikapi Jawa Timur atas penyelenggaraan Konferensi Kerja Daerah (Konkerda) 2022. Saya juga menyampaikan apresiasi atas terbentuknya cabang-cabang baru Ikapi yang menjadikan Jawa Timur provinsi dengan jumlah kepengurusan cabang terbanyak. Kita yakin, gairah kepengurusan ini akan membawa angin segar bagi industri perbukuan di Jawa Timur maupun secara nasional.
Jawa Timur harus kita akui menyimpan potensi pengembangan industri perbukuan yang amat besar. Sebanyak 38 kabupaten/kota di provinsi ini meluncurkan buku pada 2021 mencakup 26.933 judul. Itu artinya tak ada satu kota/kabupaten pun yang tidak memiliki penerbit. Jumlah penerbit terbanyak berada di Kota Surabaya yaitu 219 penerbit, disusul oleh Kabupaten Malang (84), Kota Malang (83), Kota Sidoarjo (68), Kabupaten Jember (34), dan Kabupaten Jombang (32).
Terdapat 885 penerbit di Jawa Timur atau 13,61 persen dari total penerbit nasional, menjadikannya provinsi yang menempati urutan ketiga di Indonesia setelah DKI Jakarta (1.201 penerbit) dan Jawa Barat (1.102 penerbit). Data ini diambil berdasarkan jumlah pemohon ISBN yang tercatat di Perpustakaan Nasional pada 2021. Secara keseluruhan, terdapat 6.502 penerbit buku di Indonesia, sedangkan yang tercatat sebagai anggota Ikapi sekitar 2.000 penerbit.
Kabupaten Malang adalah salah satu kabupaten/kota dengan tingkat literasi tertinggi di Indonesia bersama Kota Padang menurut hasil evaluasi Tim Puslitjak Kemendikbud pada 2018. Namun, di tingkat provinsi, pencapaian Jawa Timur ternyata masuk dalam kategori rendah dengan hanya menempati urutan ke-26 dari 34 provinsi dalam daftar Indeks Aktivitas Literasi Membaca (Alibaca) yang disusun oleh Kemendikbud pada 2019.
Dalam indeks tersebut, Jawa Timur berada pada kategori rendah bersama 24 provinsi lainnya. Hanya ada sembilan provinsi dengan kategori sedang menurut riset tersebut dan tidak ada satu pun yang memiliki indeks literasi tinggi. Bahkan sebaliknya, ada satu provinsi yang memiliki indeks sangat rendah.
Indeks Alibaca diukur dengan menggunakan beberapa variabel dimensi, yakni dimensi kecakapan membaca, dimensi akses, dimensi alternatif, dan dimensi budaya. Dimensi kecakapan membaca mencerminkan tingkat melek huruf. Dimensi akses menggambarkan ketersediaan sumber literasi seperti perpustakaan dan tingkat kelayakannya, taman bacaan, dan pembelian surat kabar atau majalah. Dimensi alternatif mewakili tingkat penggunaan komputer dalam rumah-rumah tangga dan akses internet di sekolah-sekolah. Sementara, dimensi budaya mewakili tingkat keaktifan masyarakat membaca buku dan mengunjungi perpustakaan.
Pada dimensi kecakapan membaca, Jawa Timur termasuk dalam kategori tinggi sebagaimana mayoritas provinsi di Tanah Air. Namun, ketika berbicara tentang akses terhadap bahan bacaan, provinsi ini termasuk dalam kategori sangat rendah bersama 14 provinsi lainnya. Nilai terbaik yang dimiliki Jawa Timur adalah pada dimensi alternatif yaitu pada kategori sedang yang menunjukkan kepemilikan komputer dan ketersediaan jaringan internet. Sayangnya, pada dimensi budaya membaca, Jawa Timur juga berada pada kategori rendah.
Perhatian daerah-daerah terhadap literasi masih rendah, tecermin dengan sedikitnya peraturan daerah yang terkait literasi. Sampai saat ini, tidak ada satu provinsi dan kabupaten/kota pun yang memiliki peraturan daerah (perda) turunan atas UU No. 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan. Atas dorongan Ikapi, upaya ke arah pembentukan perda tentang sistem perbukuan berjalan di Provinsi Banten dan Daerah Istimewa Yogyakarta, namun masih pada tahap sangat awal.
Secara nasional, perda terkait buku baru ada pada kaitan dengan perpustakaan, itu pun terhitung sedikit yaitu hanya 70 perda bila dibandingkan jumlah 34 provinsi dan 514 kota/kabupaten di Indonesia. Sebanyak 31 perda mengatur pembentukan organisasi perpustakaan, empat perda mengatur administrasi anggota perpustakaan dan denda, dan 35 perda berisi pengelolaan dan pelayanan perpustakaan.
Kehadiran perda sangat penting dalam meningkatkan indeks literasi masyarakat karena menjadi dasar bagi pembuatan kebijakan, program kerja, dan penyediaan anggaran melalui APBD. Sebagai contoh, berlandaskan Perda Nomor 5 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Perpustakaan, yang diperkuat dengan Peraturan Wali Kota Surabaya Nomor 11 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Penyelenggaraan dan Pengelolaan Perpustakaan, Pemkot Surabaya membuat berbagai program untuk mendorong peningkatan literasi warga dan menjadikan Surabaya Kota Literasi.
Pada saat itulah, Pemkot Surabaya mendorong pembangunan perpustakaan sekolah yang memenuhi standar Perpustakaan Nasional dengan kondisi bangunan, fasilitas, dan jumlah koleksi yang layak. Dinas Pendidikan juga mengeluarkan surat edaran tentang “kurikulum wajib baca” yang mewajibkan siswa berkunjung ke perpustakaan sekolah. Pemerintah kota juga membangun perpustakaan-perpustakaan umum, menyediakan ratusan taman bacaan di tingkat RW, dan merekrut tenaga honor pengelola perpustakaan sekolah dan taman bacaan di perkampungan dengan menggunakan dana APBD.
Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) sebagai asosiasi yang menghimpun para penerbit pada dasarnya bergerak pada hulu literasi, yakni bagaimana membawa para penerbit untuk menghasilkan buku yang memiliki mutu, murah, dan merata, sesuai prinsip 3 M pada UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan. Namun, melihat kinerja bangsa terkait indeks literasi, Ikapi tidak bisa berdiam diri sehingga turut berperan aktif di wilayah hilir literasi. Itu sebabnya, Ikapi tetap menjadikan aneka kegiatan literasi seperti pameran buku, kunjungan ke sekolah-sekolah, kampanye baca buku orisinal, diskusi buku, dan sumbangan untuk taman bacaan sebagai bagian dari program kerja di tingkat pusat maupun daerah.
Tantangannya tidak mudah. Hasil riset OECD pada 2019 menunjukkan, anak-anak Indonesia yang menjadikan kegiatan membaca sebagai hobi favorit merosot 3,6 persen. Sementara, pengukuran pada kriteria “saya suka membicarakan buku dengan yang lain” turun 3,8 persen. Sebaliknya, pada kriteria “bagi saya, membaca adalah buang-buang waktu” menunjukkan lonjakan 9,9 persen. Peningkatan aktivitas membaca hanya terjadi pada platform daring, antara lain kegiatan membaca email naik 7,5 persen, percakapan daring naik 60,7 persen, dan ikut forum atau grup diskusi daring naik 34,5 persen.
Penerbit memerlukan terobosan untuk menggaet para pembaca muda yang saat ini kian terikat dengan gawai digital. Pada sisi lain, pendapatan dari produk digital para penerbit tidak pernah dapat melampaui angka 10 persen. Demikian halnya dalam penjualan melalui lokapasar, walaupun 76 persen anggota Ikapi telah membuka kanal penjualan daring, penghasilan mereka terganggu oleh meruyaknya lapak-lapak buku bajakan.
Sekali lagi, tantangannya tidak mudah, namun anggota Ikapi telah berkali-kali mengalami situasi seperti ini dan selalu berhasil bangkit kembali. Betul perkembangan teknologi dan paparan pandemi melahirkan disrupsi, namun keduanya juga telah membangkitkan peluang-peluang baru industri perbukuan, dalam hal akuisisi naskah, desain buku, pemasaran digital, hingga proses distribusi. Kita tinggal menangkapnya melalui kesiapan bertransformasi dan kesediaan untuk bekerja sama.
Transformasi. Kolaborasi.
Salam,
Arys Hilman Nugraha