oleh Arys Hilman, Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi)

Baru saja dapat cerita dari Tatang Mulyana, wartawan harian Kompas: Akhir tahun lalu, terjadi pencurian buku dari puluhan perpustakaan sekolah di Kabupaten Indramayu. Pencuri membawa mobil bak terbuka dan mengangkuti buku-buku curian itu sendirian.

Saya tergelak membayangkan para penerbit menanggapi peristiwa itu. “Buat apa buku curian itu? Memangnya gampang jual buku?”

Foto: Detik.com

Belakangan saya dapat kabar: Tiga puluh enam perpustakaan sekolah menjadi korban pencurian tersebut. Polisi berhasil menangkap pelaku dan penadahnya. Nilai kerugian dari 30 sekolah saja, menurut polisi, sebesar Rp 846.692.000. Sementara, si pencuri menjual buku-buku tersebut senilai Rp 2.500 per kilogram kepada penadah. Tidak ada data jumlah total buku yang dicuri. Jumlah mungkin tidak dianggap penting karena nilai buku dianggap terwakili oleh bobot kertas 12 ton.

Mari kita berhitung. Pencuri menjual hasil kejahatannya Rp 2.500 per kilogram. Bobot satu eksemplar buku paket untuk sekolah 300-500 gram. Jadi, harga satu eksemplar buku menurut versi pencuri kepada penadah berkisar Rp 1.000 per eksemplar.

Sekarang versi polisi: Nilai 12 ton buku adalah Rp 846,692 juta atau Rp 70.692 per kilogram. Dengan asumsi rata-rata bobot yang sama 300-500 gram, jumlah buku yang dicuri sekira 30 ribu eksemplar, sehingga harga buku per eksemplarnya Rp 28.223.

Lalu, berapa nilai buku yang dicuri menurut Dinas Pendidikan Kabupaten Indramayu? Angka total tidak ada.  Tapi, seorang pejabatnya menyebut kerugian salah satu sekolah Rp 20 juta untuk 600 eksemplar buku. Dengan demikian, harga satu eksemplar buku berada pada kisaran Rp 33 ribu.

Polisi dan Dinas Pendidikan tampaknya menghargai buku secara “wajar”. Di dalamnya, terkandung bukan semata biaya cetak, melainkan mencakup pula komponen penyusun harga buku lainnya. Namun, harga itu pun masih sebatas wajar dalam tanda petik karena kita tidak tahu seberapa besar konten buku sebagai karya intelektual yang berasal dari kreativitas para penulis, editor, desainer, dan ilustrator diperhitungkan. Dalam banyak kasus buku pendidikan untuk sekolah-sekolah, komponen penentu harga eceran tertinggi (HET) buku adalah biaya cetak, termasuk harga kertas di dalamnya, bukan konten sebagai karya intelektual.

Itu adalah gambaran umum cara masyarakat kita [tidak] menghargai buku. Aspek kreatif dan intelektual sebuah buku acap terpinggirkan. Sebagaimana pencuri buku tak mengerti nilai buku, orang-orang pun menganggap buku tak ubahnya komoditas cabai, cukup dihitung dengan ditimbang; atau seperti koran bekas, harga dihitung per kilogram karena isinya sudah tidak aktual lagi. Dalam situasi seperti ini, tak heran masyarakat—bahkan sebagian kalangan pemerintah–tidak bisa membedakan industri penerbitan dengan percetakan.

Baca juga: Pembajakan Buku Berpotensi Membunuh Energi Kreatif Insan Perbukuan

Gambaran tersebut berkebalikan dengan kisah pada novel The Book Thief (Si Pencuri Buku) karya Markus Zusak. Tokoh utama Lisa Meminger mencuri buku, bahkan sejak ia masih buta huruf, karena yakin bahwa buku adalah benda yang sangat penting. Tokoh protagonis lainnya, istri wali kota, salah satu korban pencurian, membiarkan Liesel mencuri buku-buku dari perpustakaan rumahnya dengan semangat yang sama, bahwa isi buku-buku itu penting untuk Liesel.

Di negeri kita, penghargaan atas buku sebagai karya intelektual belum lazim. Perlu bukti? Buka saja lokapasar-lokapasar daring terkenal di negeri ini. Buku-buku bajakan merajalela, dengan harga yang hanya seperempat buku asli penerbit.

Kok bisa? Karena buku bajakan hanya menilai buku dari biaya cetak belaka. Pembajak tidak membayar royalti penulis, editor, desainer, ilustrator, penerjemah, dan penyadur. Tak seperti penerbit buku aslinya, pembajak juga tak memiliki risiko buku tidak laku karena mereka hanya mencetak buku yang sudah terbukti laku. Jual saja buku bajakan. Risiko terberatnya hanyalah buku itu dihapus dari platform. Solusinya gampang, pasang lagi saja dengan sedikit perubahan judul penjualannya sehingga muncul SKU baru.

Apakah mereka saja yang memiliki karakter seperti pencuri buku di Indramayu yang tidak menghargai karya intelektual? Tidak. Platform daring yang mewadahi para penjual buku bajakan sama saja. Mereka memiliki ketentuan sendiri yang bertentangan dengan UU No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Ketentuan yang mereka sebut sebagai save harbour policy itu mendapatkan endorsement dari pemerintah lewat SE Menkominfo No 5 Tahun 2016. Berdasarkan beleid itu, penjualan produk palsu tidak lagi menjadi persoalan ketika produk tersebut dihapus (take down) dari etalase lokapasar.

Foto: Kompas.com

Siapa lagi? Para pembeli buku bajakan. Coba buka lokapasar daring. Kita dengan mudah akan menemukan karakter pembeli buku yang bertanya, “Apakah bukunya ori?” dan mereka tetap membeli buku tersebut saat mendapatkan jawaban, “Ini buku repro yang setara ori.” Buku setara ori berarti buku bajakan. Banyak pembaca buku mengabaikan legalitas buku yang mereka beli karena tergoda harga murah. Dari mana harga murah itu? Dari pencurian hak ekonomi para penulis, editor, dan lain-lain atas karya intelektual mereka.

Ketika transformasi digital terjadi dan pandemi mempercepatnya, para penerbit dan pelaku perbukuan lainnya sudah cukup bergegas menyesuaikan diri. Namun, pengambil manfaat terbesar dari situasi tersebut sebenarnya adalah para pencuri buku kelas semacam itu, yakni mereka yang tak menghargai hak-hak atas karya intelektual buku, baik hak moral maupun ekonomi.

Selamat Hari Buku Nasional!

Sumber: Republika.id (Para Pencuri Buku)

Baca juga: Menyelamatkan Perbukuan

Skip to content