Di tengah merosotnya tingkat literasi, dunia perbukuan Tanah Air justru berderai air mata. Berton-ton buku di perpustakaan sekolah dicuri. Pembajakan buku merajalela. Toko buku legendaris terancam tutup karena merugi.

Kabar Toko Buku Gunung Agung yang akan menutup seluruh gerainya pada akhir tahun ini memantik perhatian publik. Bahkan, hal ini sempat menjadi trending topic atau topik paling ramai dibahas di media sosial Twitter, Minggu (21/5/2023). Cerita sedih pun mengalir dari warganet mengenang pengalaman membaca dan membeli buku di toko itu.

Kerugian yang terus membengkak menjadi alasan penutupan. Pandemi Covid-19 turut memperburuk keadaan. Hal ini pun berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap sejumlah pegawai.

Foto: boxies123.co.id

Penutupan toko buku yang berkiprah sudah selama tujuh dekade itu dianggap sebagai alarm bagi dunia perbukuan nasional. Namun, sebenarnya alarm itu sudah nyaring berbunyi sejak lama.

Arys Hilman Nugraha, Ketua Umum Ikapi

Salah satu yang paling berbahaya adalah sikap permisif terhadap buku bajakan. Tidak heran, produk buku bajakan banyak diperjualbelikan di lokapasar. Padahal, pembajakan buku berpotensi membunuh kreativitas dan merugikan banyak pihak, mulai dari penulis, editor, desainer, ilustrator, penerjemah, penyadur, percetakan, penerbit, hingga toko buku.

Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Arys Hilman Nugraha mengatakan, pembajakan buku di Indonesia telah menjadi industri. Ia mencontohkan, saat penerbit hanya mempunyai stok buku puluhan eksemplar, pihak pembajak bisa menstok hingga 1.000 eksemplar.

Harga yang murah, bahkan hanya 25 persen dari harga buku orisinal, membuat buku bajakan diminati banyak orang. Sejumlah pembeli pun tak terlalu mempersoalkan orisinalitasnya. Padahal, di balik harga buku bajakan yang murah itu terdapat hak-hak yang dirampas. Penulis pun tidak mendapatkan royalti.

Foto: blog.mizanstore.com

Arys menyebutkan, harga pokok produksi buku bajakan hanya dari biaya cetak. Tidak ada pembayaran untuk penulis, desainer, ilustrator, dan tangan-tangan kreatif lainnya.

”Jadi, wajar kalau harganya (buku bajakan) hanya seperempat, bahkan bisa seperlima, dari harga buku normal (orisinal). Komponen harga buku itu banyak. Biaya cetak hanya salah satunya,” katanya.

Baca juga: Pembajakan Buku Berpotensi Membunuh Energi Kreatif Insan Perbukuan

Pembajakan buku di Indonesia sudah sangat masif. Berdasarkan survei Ikapi pada 2021, sekitar 75 persen penerbit menemukan buku terbitan mereka dibajak dan dijual di lokapasar. Survei ini melibatkan lebih dari 130 penerbit. Kerugian akibat pembajakan ditaksir mencapai ratusan miliar rupiah.

Selain menindak pembajak, diperlukan edukasi masyarakat agar tidak permisif terhadap praktik ilegal tersebut. Upaya ini juga untuk memberikan penghargaan lebih tinggi terhadap karya intelektual.

Pencurian buku

Kabar miris lainnya datang dari Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, pada Januari 2023. Polisi menangkap pencuri yang menggondol sekitar 12 ton buku dari puluhan perpustakaan sekolah.

Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Indramayu Ajun Komisaris Fitran Romajimah mengatakan, pihaknya telah menetapkan tiga tersangka dalam kasus tersebut. Mereka adalah seorang eksekutor dan dua orang penadah buku.

”Mereka sudah melakukan itu lebih kurang tiga bulan atau sejak Oktober 2022,” ujarnya (Kompas.id, 12/1/2023).

Foto: Detik.com

Total kerugian akibat pencurian buku ditambah sejumlah telepon tablet diperkirakan Rp 846 juta. Pencuri menjual buku-buku itu kepada penadah seharga Rp 2.500 per kilogram, sementara penadah mengasongkan barang curian itu dengan harga Rp 5.400 per kilogram.

Kasus ini cukup mengagetkan. Bukan hanya karena aksi pencuri yang menguras perpustakaan sekolah, melainkan juga cara mereka menjual buku secara kiloan berdasarkan beratnya. Fenomena ini menjadi gambaran umum di mana banyak orang mengesampingkan aspek intelektual dan kreativitas pada sebuah buku.

Baca juga: Para Pencuri Buku

Akhir tahun lalu, lemari buku di Taman Literasi Martha Christina Tiahahu juga ludes dicuri. Padahal, lemari buku yang dikelola oleh Bookhive itu diperlukan untuk menumbuhkan minat baca di ruang publik.

Foto: Jakarta Book Hive

Bookhive mengusung konsep perpustakaan yang tergolong baru di Indonesia. Sebab, selain bisa membaca dan membawa pulang buku, pengunjung juga dapat menitipkan bukunya di lemari tersebut agar dibaca orang lain.

Pendiri Bookhive, Farid Hamka, berharap gerakan itu tidak hanya menumbuhkan minat baca, tetapi juga menambah daya baca masyarakat. ”Buku yang sama dibaca lima orang akan memunculkan interpretasi berbeda. Hal ini bisa melahirkan diskusi yang menarik sehingga baik untuk literasi bangsa kita,” katanya.

Baca juga: Wajah Penerbitan di Indonesia

Kerisauan akan rendahnya tingkat literasi cukup berasalan. Menurut Perpustakaan Nasional, satu buku di Indonesia ditunggu oleh 90 orang. Padahal, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) menyebutkan, idealnya satu orang mengakses tiga buku dalam setahun.

Kemampuan literasi siswa di Indonesia juga memprihatinkan. Menurut hasil Asesmen Nasional 2021, satu dari dua peserta didik belum mencapai kompetensi minimum literasi. Tanpa ketersediaan buku memadai dan iklim perbukuan yang sehat, jalan memulihkan literasi bangsa akan semakin terjal.

Sumber: Kompas.id (Derai Air Mata Perbukuan Tanah Air

Skip to content